Tiba
saatnya untuk mengerjakan tantangan yang diberikan Kelas Bunda Sayang di
Institut Ibu Profesional Banten. Tantangan 10 hari #komunikasiproduktif.
Tantangan yang harus dilakukan oleh member terhadap pasangan atau anak. Berhubung
aku belum menikah dan keseharianku mengajar di TK kelompok usia 4-5 tahun, maka
aku memanfaatkan kesempatan bersama anak-anak di sekolah untuk mengerjakan
tantangan ini.
Tantangan 10 hari tersebut dimulai hari
ini, 1 Juni 2017, tapi karena hari ini libur nasional dan ketentuan mengerjakan
tantangan telah diumumkan jauh-jauh hari, maka kemarin aku telah bersiap
mempraktekkan komunikasi produktif dengan muridku.
#Hari1 (31 Mei 2017)
Pada tantangan hari pertama, aku
mencoba mempraktekkan komunikasi produktif dengan murid-muridku. Tidak spesifik
pada satu anak. Ada beberapa indikator dalam melakukan komunikasi produktif, yaitu
gunakan kalimat tunggal, bukan kalimat majemuk, kendalikan emosi suara dan
gunakan suara ramah, katakan apa yang kita inginkan, bukan yang tidak kita
inginkan, fokus ke depan, bukan masa lalu, ganti kata “tidak bisa” menjadi “bisa”,
fokus pada solusi bukan pada masalah, jelas dalam memberikan pujian dan
kritikan, mengganti nasihat menjadi refleksi pengalaman, mengganti kalimat
interogasi dengan pernyataan observasi, ganti kalimat yang menolak/mengalihkan
perasaan dengan kalimat yang menunjukkan empati, dan mengganti perintah dengan
pilihan.
Setelah mengetahui indikator-indikator tersebut,
banyak hal yang ternyata baru aku sadari menjadi kesalahan dalam berkomunikasi dengan
murid-muridku. Namun ada juga hal-hal positif yang tanpa disadari telah aku
praktekkan, seperti penggunaan suara yang ramah, mengganti kata “tidak bisa”
menjadi “bisa”, dan memfokuskan masalah pada solusi bukan pada masalah itu
sendiri. Terkait kesalahan dalam berkomunikasi, aku mencoba untuk
memperbaikinya satu per satu dalam rangkaian tantangan 10 hari ini. Hal pertama
yang akan aku perbaiki ialah terkait kebiasaanku yang masih menggunakan kalimat
majemuk dalam berkomunikasi dengan muridku, seharusnya yang aku gunakan adalah
kalimat tunggal.
Contohnya, aku sering sekali mengatakan
pada muridku, “setelah selesai mewarnai, pensil warnanya rapihkan, lalu simpan
di keranjang ya! Buku gambarnya simpan di meja lalu berdoa sebelum cuci tangan
dan makan”. Kalimat yang baru aku sadari panjangnya bak gerbong kereta L
Kemarin aku mencoba mengubah pola
komunikasiku dengan anak-anak, salah satunya aku praktekkan pada Baba, muridku yang berusia 5 tahun. Ia
mengatakan telah lelah belajar mewarnai dengan teknik gradasi, lalu aku segera
menyarankan padanya untuk istirahat. Ia pun segera beranjak sambil membereskan
krayon. Setelah selesai dengan pekerjaannya itu, aku baru melanjutkan
kalimatku, “simpan krayonnya di keranjang ya!”. Baba pun melakukan apa yang aku
perintahkan. Setelah selesai menyimpan krayon, tersisalah lembar mewarnai yang
masih tergeletak di lantai. Baba membawa lembar kerjanya itu kemudian berjalan
melihat sekeliling. Ia bingung dimana tempat untuk menyimpan lembar kerjanya
itu. Setelah beberapa saat ku perhatikan, barulah aku kembali memberinya
perintah, “simpan di meja hijau itu ya, Nak”. Baba pun menuruti perintahku
sambil tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar