Panggil saja Pipit. Ia salah satu
murid perempuanku yang agak sedikit tomboi. Kenapa aku bilang tomboi, karena
tingkahnya sedikit berbeda dengan teman-teman perempuan yang lainnya meski
tidak terlalu mencolok. Pipit jarang sekali menggunakan kerudung, padahal di TK
tempatku mengajar penggunaan kerudung itu wajib bagi murid perempuan. Ibunya
pun pernah bercerita padaku bahwa jika di rumah Pipit lebih sering bermain
dengan anak laki-laki. Meskipun begitu, Pipit masih menyukai mainan anak
perempuan, seperti BP-Bpan. Tahu kan BP-BP-an? Hehe.
Tadi pagi di sekolah ceritanya ia
merengek minta jajan. Dengan tersenyum aku mengatakan padanya bahwa sekarang belum
waktunya untuk jajan.
“Emangnya Pipit mau jajan apa
sepagi ini?”, tanyaku.
“Beli minum, bu”, jawabnya.
“Aih, emangnya Pipit ngga puasa?”, tambahku.
“Ngga, bu”, jawab Pipit
dengan polosnya.
“Pipit boleh jajan, boleh minum,
tapi tahan dulu ya, kan teman-teman Pipit yang lain lagi puasa. Kalo Pipit ga
puasa, Pipit boleh minum, tapi nanti ya di rumah”, jelasku.
“Oke, bu. Tapi Pipit mau beli slime”,
tambahnya lagi.
Hampir aku menyerah melayani setiap
tawaran yang dilontarkan Pipit. Sampai akhirnya waktu istirahat tiba. Pipit kulihat
berlari melewatiku, aku segera bertanya padanya hendak kemana. Sambil berlalu
Pipit menjawab bahwa ia ingin membeli mainan. Baiklah kataku dalam hati.
Jujur, sedikit risih dengan
lingkungan di sekolah yang lumayan bebas bagi para pedagang untuk berjualan.
Anak-anak muridku nampak berperilaku konsumtif. Jumlah uang jajan mereka bisa
dibilang tidak sedikit. Aku hanya sebatas bisa bercerita pada mereka tentang
baik buruknya jajan sembarangan, meskipun seringnya mereka lupa akan
pesan-pesan yang aku selipkan dalam setiap cerita yang aku sampaikan. Huft.
0 komentar:
Posting Komentar