Kamis, 20 Oktober 2016

Antara Kita, Indonesia, dan Thailand

Tiga hari sudah kita berpisah. Terminal 2F itu menjadi saksi bisu perpisahan kita. Kita yang bertemu, selalu bersama, kemudian berpisah. Andai waktu memberikan kesempatannya lebih dari 6 hari, pasti akan lebih banyak hal yang bisa kita pelajari.
Sedih itu masih ada. Tapi aku paham bahwa perjalanan hidup ini bagaikan roda, tak boleh berhenti, karena nantinya hidup menjadi tak berarti.
Sebelumnya aku tak pernah membayangkan persahabatan yang seperti ini. Diawali dengan keberangkatan salah satu alumni kampus untuk S2 di Thailand, kemudian diriku yang turut menyusul dengan program kegiatan yang berbeda, kita saling jumpa dengan guru yang sama. Hingga akhirnya kalian jauh datang dari sana ke Indonesia. Sungguh takkan pernah terlupa.
Kami antusias menyambut kalian yang jauh-jauh datang dari Thailand. Acara penting itu pun dimulai. Detik-detiknya terasa menegangkan. Namun semua berlalu begitu cepat, hingga akhirnya persinggahan di tanah jawara harus usai dan tanah legenda menjadi tujuan jalan-jalan.
Entah kesan apa yang ada di dalam hati kalian. Tapi kami sungguh senang, atau mungkin hanya aku?
Canda tawa yang selalu mengiringi setiap perjalanan, amarah dan haru pun seakan hanya menjadi bumbu.
Kami senang, kami riang. Dan kini, kami merindukan kalian. Atau... hanya aku?






Jumat, 07 Oktober 2016

Mengamati Perkembangan Jaman di Pasar Lama


Saat ini, ikan, sayuran, dan buah-buahan milik mereka masih segar. Tak banyak yang bisa aku lakukan, selain duduk di depan ruko yang sudah tutup karena petang menjelang. Aku terjebak hujan.
Seorang ibu paruh baya berbusana rapih menghampiriku dan duduk disampingku.
“Hendak kembali ke kos”, jawabku ketika beliau bertanya tujuan perjalananku.
“Ke kondangan, neng”, balasnya selepas pertanyaan terlontar dariku terkait hal serupa seperti pertanyaan beliau di awal.
Saat itu juga pandanganku langsung menyisir jajaran lapak para pedagang di Pasar Lama. Tepat di salah satu ruko, sebelum perempatan, berdiri cukup megah tenda hajatan. Pinggiran jalan yang dijadikan tempat prasmanan dan pelaminan dipastikan tergenang air hujan yang menyumbat. Alasan itulah yang sekiranya dipilih Si ibu sebagai pembenar bahwa ia harus turut berhenti sejenak dan duduk disampingku.
Tak jauh dari tenda hajatan, tuan pemilik lapak arang, kelapa muda, dan ikan secara serentak kulihat menggelar terpal. Pun pembeli, mereka berebut ‘terpal besi’ di ruko milik ‘Si Cici’ dan ‘Si Koko’. Hampir sebagian besar empunya ruko di Pasar Lama  memang ‘Si Koko’. ‘Si Koko’ harus rela berbagi lahan depan ruko untuk lapak dagang orang-orang yang berjuang membeli sembako.
“Beruntung”, batinku. Aku hanya harus sesekali menikmati hujan yang datang tak bilang-bilang. Aku juga hanya harus sesekali saja merasakan terpaan angin kencang, basahnya air hujan, dan petir yang berdendang. Itu pun hanya karena aku yang masih mengayuh sepeda di tengah perjalanan pulang dari kegiatan melingkar. Tak seperti mereka yang sudah lama mengadu nasib di Pasar Lama. Mereka terus mengikuti jaman. Tapi sayang seribu sayang, jaman berubah seiring berjalannya waktu. Jaman sepertinya tak bisa menjanjikan apa-apa di Pasar Lama. Karena tak lama lagi jaman akan naik dan terus berubah.
Ah, jaman. Aku hanya pendatang di tanah gersang. Tapi gersangnya tanah ini menempaku agar terus membara seperti arang. Wahai arang dan Pasar Lama, terima kasih telah mengajariku untuk terus memiliki rasa syukur dan semangat yang membara.

Pasar Lama, 7 Oktober 2016

Ditulis saat berteduh di ruko Pasar Lama

Selasa, 04 Oktober 2016

CATATAN HARIAN SEORANG GURU TK: KECIPRATAN TINTA SPIDOL

Rutinitasku di awal pekan ini berjalan seperti biasanya. Pagi-pagi pergi ke TK untuk mengajar, sore harinya rapat persiapan seminar internasional di kampus, dan kini saat malam tiba, aku berusaha fokus mengerjakan skripsi. Ada beberapa hal yang membuatku semakin tidak bersemangat hari ini. Pertama, seragam yang aku gunakan untuk mengajar terasa tidak nyaman. Padahal dari malam sebelumnya aku sudah menyiapkan rok, kemeja, dan kerudung yang akan aku gunakan. Warna yang aku pilih antara rok, kemeja, dan kerudung sudah pas pikirku. Ternyata salah. Rok dan kerudung sama-sama berwarna abu, namun berbeda macam abu-nya. Jadilah aku tetap berangkat tanpa berganti pakaian karena waktu yang sudah semakin siang. Kedua, sesampainya di sekolah tiba-tiba dengan semangatnya salah satu ibu dari anak muridku meminta nomor handphone-ku. Aku pikir hal yang lumrah, mengingat aku adalah wali kelas anaknya di kelas A. Ternyata si ibu berniat serius mengenalkanku dengan seorang laki-laki yang merupakan saudaranya. Aku hanya bisa berdalih ingin fokus skripsi dan belum memikirkan jodoh ketika si ibu melontarkan pertanyaan “sudah ada calon belum?”. Ckck. Ketiga, rok abu yang merupakan rok seragam PG PAUD di kampusku harus menjadi korban tinta hitam spidol yang bocor saat hendak aku gunakan. Aku sempat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tinta spidol itu dengan air, tapi hasilnya percuma. Tinta tersebut cepat mengering dan menempel di rok-ku. Tak putus asa, saat tiba di kontrakan, aku berusaha menyikatnya. Tapi sayang, rok kesukaanku itu harus kurelakan terkena noda hitam. Sampai saat ini aku masih merendamnya dengan deterjen yang sebelumnya aku kenal ampuh dalam menghilangkan noda. Ya, siapa yang tahu. Hiks hiks
Selain hal diatas, hari ini pun merupakan pertama kalinya aku mendapatkan gaji pertama secara utuh dari TK. Besarnya gajiku selama mengajar satu bulan di TK yaitu Rp280.000. Bulan lalu aku hanya mendapatkan Rp60.000. Hal tersebut karena awal aku mulai masuk mengajar di TK tidak tepat saat awal bulan, melainkan tanggal 24. Sebetulnya uang yang aku dapatkan dari TK tempatku mengajar tidak hanya dari gaji bulanan, melainkan ada juga upah bulanan dari kegiatan les baca, tulis, hitung yang diselenggarakan oleh TK tanpa mewajibkan siswanya untuk ikut semua. Upah tersebut sudah diberikan ibu kepala sekolah sebelum awal bulan. Jumlah yang aku dapatkan Rp.215.000. Kenapa ibu kepala sekolah membagikan gaji itu diawal waktu? Karena beliau bermaksud untuk membantuku. Jadi ceritanya tanggal 1 Oktober kemarin sekolah mengikuti kegiatan manasik haji. Semua murid dan guru harus menggunakan seragam putih. Dari semua guru, hanya aku satu-satunya yang belum menemukan rok putih untuk aku gunakan saat hari H. Adapun yang mereka miliki adalah celana putih. Dengan tebakan bahwa beliau-beliau mengetahui bahwa aku tidak pernah menggunakan celana sebagai bawahan untuk menunjang penampilanku, alhasil gaji itu dibagikan diawal agar aku dapat segera membeli rok putih.
Kurang lebih seperti itulah dilema seorang guru TK. Dengan kebutuhan banyak, penghasilan yang mereka dapatkan hanya sedikit. Namun, aku tetap bersyukur. Entah kenapa, sejak pulang dari Thailand dan tidak mendapat kiriman uang lagi dari orang tua dan paman, aku malah semakin bertekad kuat untuk mandiri. Sudah hampir dua bulan aku bertahan di Serang—setelah pulang dari Thailand—tekadku semakin kuat untuk tidak meminta uang. Usahaku untuk mencari peluang bisnis masih berjalan walaupun belum action. Dan usahaku untuk mencari penghasilan tambahan dari kegiatan les privat akhirnya hampir membuahkan hasil. Itu semua tentu atas Sang Maha Pemurah. Bismillah... saat ini juga bebanku semakin bertambah dengan tugas untuk menerbitkan artikel yang diperintahkan oleh bapak direktur kampus. Padahal skripsi masing mengawang-awang. Demikian catatan hati seorang guru TK. Semoga menginspirasi.
-Pekatnya malam pasti berganti siang-

Serang, 3 Oktober 2016