Jumat, 09 Juni 2017

#Hari10 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Cara memahami Lalan. Mungkin itu adalah judul yang tepat pada bagian depan buku harianku selama membersamai Lalan. Meski aku hanya seorang guru kelasnya yang bertemu tak lebih dari 5 jam sehari, namun kesan terbaik haruslah aku tanamkan dalam memori ingatan Lalan yang masih terlalu muda untuk bersekolah di TK kelas A. Latar belakang alasan orang tua Lalan memang cukup rasional, bagi mereka, tidak untuk Lalan. Karena alasan efektivitas menyekolahkan Lalan di TK tempatku mengajar yang berada satu lokasi dengan sekolah kakak perempuannya di SD, Lalan harus mengikuti peraturan di kelas A yang seharusnya diperuntukkan bagi anak-anak usia 4-5 tahun. Nyatanya, Lalan barulah genap 4 tahun beberapa bulan yang lalu. Artinya ia terlalu dini untuk sekolah.
Bagaimana pun juga, menyekolahkan anak jika belum tepat usianya sangatlah tidak aku anjurkan. Ibarat memaksakan janin berusia 6 bulan dalam kandungan untuk segera dilahirkan, padahal belum saatnya. Maka dari itu, Lalan agak sedikit diperlakukan khusus. Aku sebagai wali kelasnya berusaha untuk tidak memaksakan suatu hal pada Lalan jika memang Lalan tidak mau melakukannya. Lalan sudah mau bersosialisasi dan mengerti bagaimana caranya ia diterima teman-temannya yang lain saja sudah sangat hebat.
Tak jarang Lalan merengek karena ada suatu hal yang tak ia sukai. Contohnya tadi pagi. Setibanya di sekolah Lalan sudah cemberut, tak ada senyum ceria dibibirnya. “Ngikutin kakaknya yang libur”, jelas ibunya padaku dan kepala sekolah. Ketika di kelas, Lalan pun tak mau mengikuti praktek shalat. Oke, aku masih berusaha membujuknya dengan 1001 rayuan maut andalan guru TK. Komplit dengan nada bicara yang super lembut. Hehe
Tapi, Lalan tetap tak mau mengikuti praktek sholat. Jangankan praktek sholat, wudhu pun ia tak mau. Benar-benar tak seperti biasanya. Kami masih menuruti keinginannya. “Lalan gak mau sholat!”, celotehnya setiap kali rayuan dariku keluar. Sampai akhirnya Lalan tiba-tiba merengek hampir menangis. Aku terheran-heran, tak ada angin tak ada hujan, tak ada teman yang usil padanya, dan tak ada pula orang yang berada disekitarnya pada saat itu. Tapi Lalan merengek sambil menghampiriku. “Wah minta dianter wudhu nih Lalan”, pikirku.

Lalan mengucek mata sebelah kanannya sambil merengek dan sedikit menjerit, satu tangannya lagi ia gunakan untuk meraih dan menarik tanganku. Ia tak mau mengatakan kenapa alasannya menangis. “Lalan kenapa, sayang?”, tanyaku. Ia hanya merengek sambil terus menarik tangaku. Ternyata aku digiringnya sampai ke kamar mandi hanya untuk cuci muka. *gubraaaak

#Hari9 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Tiga hari lagi pembagian rapot di TK tempatku mengajar. Semakin hari semakin sedikit murid-murid yang tidak sekolah. Alasannya bermacam-macam, ada yang memang sedang sakit, susah bangun pagi, disunat, dan lain sebagainya. Contohnya pada salah satu murid kelas B. Sebut saja namanya Ipa, ia termasuk yang masih “mending” hadir ke sekolah saat Ramadhan ini, meski kadang masuk dan kadang tidak, bahkan sekalinya masuk sekolah ia Nampak tak bersemangat.
Aku mencoba mendekatinya dan berbicara empat mata. Pagi tadi Ipa memisahkan dirinya sendiri dari teman-teman yang lain. Ipa hanya duduk di kursi sendirian, sedangkan anak-anak yang lain bersila di karpet membentuk lingkaran kecil. Aku bersimpuh mensejajarkan tinggi tubuhku dengannya, Ipa masih cuek saja. Aku mencoba memulai percakapan dengannya.
“Ipa, kenapa tidak mau duduk di karpet sama teman-teman?”, tanyaku.
“Ngga.”, kata Ipa.
“Emangnya kenapa, nak?”, tambahku.
“Gak apa-apa.”, tegasnya.
“Ipa puasa tidak, nak?”, tanyaku lagi.
“Puasa”, jawab Ipa dengan singkatnya lagi.
“Puasanya sampe jam berapa, sayang?”
“Jam 6.”
“Jam 6 pagi?”, candaku.
Ipa mulai tersenyum sambil memprotes, “bukan, bu. Jam 6 sore.”
“Oh, ibu pikir sampe jam 6 pagi. Ipa sahur sama apa?”, tanyaku ingin tahu.
“Mie goreng, bu.”
Cukup panjang percakapanku dengannya pada saat itu, tapi Ipa masih saja belum mau bergabung bersama temannya yang lain. Ia betah duduk sendiri sambil tetap memperhatikan kegiatan yang kami lakukan.
Uniknya, kenapa kegiatan mendongeng tiba, tanpa disuruh Ipa pun menghampiri lingkaran kami. Ia terlihat begitu antusias memperhatikan cerita yang disampaikan.

“Ipa…Ipa…, maafkan bu guru ya, nak. Jika selama ini bu guru belum sepenuhnya mengerti keinginan Ipa”, batinku.

Kamis, 08 Juni 2017

#Hari8 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Hari ini aktivitasku di sekolah lumayan “war byasah”. Beberapa anak di kelasku tidak berpuasa. Ada yang berpuasa setengah hari. Sebelum berbuka rengekannya minta ampun untuk dapat diberi ijin minum. Belum lagi ada dua muridku yang laki-laki, lebih super dari Boboboy di TV. Kocar-kacir kesana kemari. Sebut saja Evan dan Ririf. Mereka berdua teman dekat dalam bermain dan bertengkar. Biasalah, namanya juga anak-anak. Tapi kalau sudah menangis, pening juga rasanya. Haha *curhat
Tadi pagi selesai melakukan kegiatan inti, Evan dan Ririf berlarian kesana kemari. Padahal sudah waktunya pulang sekolah. Ketika anak-anak yang lain sudah menggendong tas dan bersiap-siap kumpul di karpet untuk berdoa bersama sebelum pulang, Ririf yang basah karena peluh keringat masih belum bisa diajak berkompromi meski sudah kubujuk dengan rayuan maut J
Ririf baru mau meresponku ketika tasnya hendak disembunyikan olen Evan. Seketika aku langsung menghentikan aksi Evan dengan cara memberitahu Evan untuk menghentikan aksinya. Evan hanya tersenyum kegirangan sambil menaruh tas Ririf di atas papan pembatas kelas. Begitulah Evan, ia tak pernah merasa aku marahi. Sebenarnya aku pun berusaha untuk tidak memarahi murid-muridku.
Ririf mengikutiku dari belakang ketika aku hendak mengambilkan tas miliknya. Aku kalah gesit dari Ririf. Ririf telah lebih dulu berjinjit untuk meraih tasnya yang berada di atas papan. Karena kejadian itu, Ririf sepertinya lelah untuk melanjutkan berlarian. Momen yang tepat pikirku. Aku langsung meraih tangan Ririf dan mengajaknya duduk sambil berkata, “Ririf sayang, lebih baik tas Ririf digendong ya, kan sebentar lagi waktunya pulang sekolah, nak”.
Ririf terdiam dan menuruti ajakanku. Aku menuntun tangannya sambil berjalan ke karpet. Ririf Nampak lelah, ia bersandar padaku. Beberapa saat kemudian Ririf berkata, “Bu, Evan-nya nakal loh”.
“Ya sudah, cuekin aja ya kalo Evan nakal”, jawabku.

Ririf mengangguk dan mulai mengikuti teman-temannya untuk berdoa sebelum pulang. Namun tak disangka, belum selesai berdoa, Ririf kembali segar dan melompat menjauhiku. Ia beraksi lagi L

Selasa, 06 Juni 2017

#Hari7 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Tiba di hari ke-7 tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif. Semakin sering menulis semakin asyik, tapi sayang, sedang asyik-asyiknya laptopku malah black screen. Tak mau patah arang, tak ada rotan, akar pun jadi. So, sekarang bu guru akan mengetik menggunakan akar. *loh J
Evan, murid laki-laki paling bongsor di kelasku mengajar, hobinya bereksplorasi di lingkungan sekitar sekolah. Jika waktunya masuk kelas, Evan malah keluar. Teman-temannya belajar berpuasa, ia masih tak bisa menahan diri untuk tidak minum. Evan selalu menguji kesabaranku agar selalu “waras” J
Contohnya tadi pagi saat kegiatan praktek shalat tiba. Sudah 1001 jurus rayuan aku keluarkan, aku sudah berkata dengan lemah lembut, mengusap punggungnya, memposisikan diri sama tinggi dengannya, tapi tetap saja “NOL” hasilnya. Meskipun begitu, aku tetap berusaha untuk tidak memaksakannya mengikuti praktek shalat. Alhasil, aku menawarkan kegiatan lain yang ia inginkan. Dan seperti biasa ia akan meminta bermain lego atau hanya sekedar berlarian di luar kelas.

Sama halnya saat praktek shalat selesai. Tiba saatnya untuk melengkapi pembuatan mobil-mobilan dengan memasang roda mobil dari tutup botol plastic. Evan terlihat sedang menggodaku di perosotan samping sekolah. Awalnya ia tak mau masuk kelas, tapi setelah kubujuk dengan mobil-mobilan, akhirnya ia mau masuk. Ya Salam…

#Hari6 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Senin berganti Selasa. Murid-muridku pun silih berganti kehadirannya di buku absen. Kali ini aku berbincang lagi dengan Za. Hari ini kami akan membuat mobil-mobilan di kelas. Semua anak Nampak bersemangat, tak sabar menanti hasil mobil karya sendiri. Bahan-bahan yang kami gunakan dari barang bekas, yaitu kardus dan tutup botol plastic. Semua anak mendapatkan satu kardus bekas pasta gigi yang sudah kami balut dengan kertas HVS bekas. 
Kali ini mereka harus mewarnai kardus yang akan digunakan sebagai badan mobil. Mereka mulai berkreasi, tak terkecuali Za. Tapi Za masih saja menggelayutiku. Kulihat ia belum percaya diri. Padahal teman-temannya yang lain sudah berekspresi mewarnai badan mobil dibagian sana-sini. Za masih saja merengek sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia menyodor-nyodorkan kardus miliknya padaku sambil berkata, “Za tidak bisa”.
Dengan lembut sambil memandang matanya aku berkata, “Za sayang, Za pasti bisa, nak”. Za masih merengek, kali ini ia menambahkan gerakan kaki yang ia gesekkan ke lantai sambil duduk. Aku mencoba membantunya dengan mencarikan tempat krayon yang bertuliskan nama Za.
“Tuh lihat teman yang lain, Za bisa mewarnai seperti itu?”, tanyaku.
“Ga bisa bu guruuuuu”, rengek Za.
Aku sempat hampir menyerah juga, karena pada saat itu posisiku ada dalam satu kelompok yang terdiri dari 4 orang anak. Akhirnya aku membantu Za untuk membuat garis-garis jendela mobil di kardusnya, selebihnya Za harus melakukan rotasi untuk didampingi guru yang lain.

Senin, 05 Juni 2017

#Hari5 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif


Panggil saja Pipit. Ia salah satu murid perempuanku yang agak sedikit tomboi. Kenapa aku bilang tomboi, karena tingkahnya sedikit berbeda dengan teman-teman perempuan yang lainnya meski tidak terlalu mencolok. Pipit jarang sekali menggunakan kerudung, padahal di TK tempatku mengajar penggunaan kerudung itu wajib bagi murid perempuan. Ibunya pun pernah bercerita padaku bahwa jika di rumah Pipit lebih sering bermain dengan anak laki-laki. Meskipun begitu, Pipit masih menyukai mainan anak perempuan, seperti BP-Bpan. Tahu kan BP-BP-an? Hehe.
Tadi pagi di sekolah ceritanya ia merengek minta jajan. Dengan tersenyum aku mengatakan padanya bahwa sekarang belum waktunya untuk jajan.
“Emangnya Pipit mau jajan apa sepagi ini?”, tanyaku.
“Beli minum, bu”, jawabnya.
“Aih, emangnya Pipit ngga puasa?”, tambahku.
“Ngga, bu”, jawab Pipit dengan polosnya.
“Pipit boleh jajan, boleh minum, tapi tahan dulu ya, kan teman-teman Pipit yang lain lagi puasa. Kalo Pipit ga puasa, Pipit boleh minum, tapi nanti ya di rumah”, jelasku.
“Oke, bu. Tapi Pipit mau beli slime”, tambahnya lagi.
Hampir aku menyerah melayani setiap tawaran yang dilontarkan Pipit. Sampai akhirnya waktu istirahat tiba. Pipit kulihat berlari melewatiku, aku segera bertanya padanya hendak kemana. Sambil berlalu Pipit menjawab bahwa ia ingin membeli mainan. Baiklah kataku dalam hati.

Jujur, sedikit risih dengan lingkungan di sekolah yang lumayan bebas bagi para pedagang untuk berjualan. Anak-anak muridku nampak berperilaku konsumtif. Jumlah uang jajan mereka bisa dibilang tidak sedikit. Aku hanya sebatas bisa bercerita pada mereka tentang baik buruknya jajan sembarangan, meskipun seringnya mereka lupa akan pesan-pesan yang aku selipkan dalam setiap cerita yang aku sampaikan. Huft.

#Hari4 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif


Ibarat Ramadhan, menjalankan tantangan 10 hari komunikasi produktif seakan tak terasa. Kini memasuki hari ke-4, kegiatan Ramadhan di sekolah berjalan seperti biasa. Masih banyak kejadian lucu dan menggemaskan yang dilakukan oleh anak-anak. Contoh kasusnya seperti Lalan yang akan aku ceritakan pada kali ini. Lalan nampak menunggu dibelakangku saat aku berdiri untuk mengecek handphone yang sedang aku charge. Aku langsung menghampiri Lalan dan membungkukkan badan sejajar dengannya. Seperti biasa Lalan masih terdiam dan belum mau menjawab salam dariku. Ia hanya mencium tanganku layaknya seorang murid terhadap guru. Aku memegang bahunya dan menggiringnya ke ruangan sebelah untuk mengaji Iqro.
Lalan masih saja terdiam ketika aku tanya ia puasa atau tidak. Aku berusaha menggodanya. Ketika itu Lalan mengenakan topi, aku mengambil topinya kemudian memakainya. Jelas tak akan cukup di kepalaku. Tapi yang terjadi adalah Lalan tertawa puas sekali melihat tingkahku. Momen itu aku manfaatkan untuk membujuknya agar mau mengaji Iqro. Awalnya mengaji Iqro berjalan lancar, meski Lalan ogah-ogahan ketika membaca surat Al Fatihah.  Tak sampai dua baris mengaji, Lalan tiba-tiba bercerita pengalamannya. Aku setia mendengarkan. “Bu guru, tadi Lalan sama Bapak pergi ke gudang. Soalnya tadi pas Lalan datang, bu gurunya baru sedikit”, ujarnya. “Wah, gudang apa itu? Dimana tempatnya, sayang?”, tanyaku. “Gudang tempat kerja ayah. Tempatnya dari sini belok, terus kesini, kesini, nyampe deh. Terus Lalan mijit tombol gini (sambil menggerak-gerakkan tangannya meliuk-liuk dan mempraktekkan cara ketika ia memijit tombol menggunakan jempol)”, tambahnya lagi.

Aku berusaha setia mendengarkan cerita Lalan hingga selesai. Aku juga tak lupa memberikannya pujian. “Wah seru deh pengalaman Lalan, jadi nanti mau ke gudang lagi?”, tanyaku. “Ngga bu”, jawab Lalan. *Gubraaaaaak J

Sabtu, 03 Juni 2017

#Hari3 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif


Sabtu ini anak-anak nampak begitu bersemangat. Sambil mengenakan seragam olahraga, mereka berlari kesana kemari seakan lupa jika sedang belajar berpuasa. Lucunya, ketika selesai berlari mereka merengek kepadaku atau guru yang lainnya untuk meminta minum. Sungguh lucu tingkah makhluk mungil karunia Alloh yang satu ini. Tapi ada satu orang anak yang terlihat murung. Panggil saja ia Sasya. Dengan wajah datar sambil menenteng uang Rp2 ribu, Sasya masuk ke kelas dengan wajah bingung seakan mencari sesuatu. Aku masih memperhatikannya beberapa saat, ternyata ia tak kunjung berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Bisa dibilang, aku sangat hafal dengan karakter Sasya. Bocah perempuan yang satu ini nampak begitu dewasa dibanding dengan saudara sepupunya yang juga satu kelas dengannya. Sasya bisa sangat mengayomi sepupunya itu. Misal, saat sepupunya tidak membawa bekal makanan dan juga uang jajan, Sasya akan menghampiriku dan mulai berkonsultasi. “Bu, Ria (panggil saja begitu untuk sepupunya Sasya) mau jajan, tapi Ria ngga bawa uang. Uang Sasya ada Rp2 ribu, cukup ngga kalo beli kue 2 bungkus?”, kurang lebih hal-hal seperti itulah yang di-“curhat”-kan Sasya kepadaku.
Berbeda dengan tadi pagi. Sasya tak kunjung menghampiriku untuk “curhat”. Ia memilih mondar-mandir dan berkeliling  di depan pintu sambil melihat ke arah tasnya. Segera saja aku mengeluarkan “jurus” komunikasi produktif. “Sasya kenapa kok gak main sama temennya? Sini, sayang mau cerita sama bu guru ngga?”, kataku. Sasya pun menghampiriku dan langsung mencurahkan isi hatinya. “Bu, Sasya pengen jajan, tapi udah masuk”, ujarnya. Aku mencoba untuk mengingat salah satu indikator komunikasi produktif, yaitu fokus pada solusi, bukan pada masalah dan mengganti kalimat interogasi dengan pertanyaan observasi.
Setelah aku mengetahui masalahnya, aku berkata pada Sasya, “Oh Sasya mau jajan. Sasya masih bisa jajan kok, masih ada waktu 5 menit. Cepetan yaa”. Sasya pun segera berlari keluar kelas. Namun siapa sangka, aku yang awalnya mengira Sasya akan membeli slime seperti teman-temannya yang lain, ternyata membeli minuman kemasan dingin! Oh nooooooooooooo. Haha

Sasya menghampiriku lagi dan meminta tolong untuk menusukkan sedotan kedalam kemasan. Jujur, aku merasa sedikit tidak tega melihat ia kehausan. Akhirnya aku melakukan apa yang dimintanya. Tapi, aku berpesan padanya untuk meminum hanya sedikit kemudian menyimpan minuman itu dibalik pintu agar teman-temannya yang lain tidak tergoda. Sasya pun menuruti perintahku. Aku hanya bisa menelan rasa tawa sambil geleng-geleng kepala. Haha

Jumat, 02 Juni 2017

#Hari2 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Sebut saja ia Za, usianya belum genap 5 tahun. Ia salah satu muridku yang tak pernah rewel, penurut, dan menggemaskan. Aku memberikan porsi lebih untuk berkomunikasi dengannya. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan konsultasi yang dilakukan oleh ibunya denganku diawal-awal masuk sekolah semester 2, aku mengetahui bahwa saat batita Za menjalani terapi speech delay. Betapa terkejutnya aku yang baru mengetahui hal tersebut. Aku kira Za yang tak pernah rewel dan begitu penurut ialah Za yang memang begitu karakternya. Karena berdasarkan pengalaman saat aku berbicara dengannya, Za selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jelas. Bahkan ia meminta sesuatu dengan ucapan-ucapan yang dapat aku mengerti. Namun memang frekuensi Za untuk berbicara tak sebanyak murid-muridku yang lainnya. Untuk bermain dengan temannya pun tak ada keanehan, hanya dalam frekuensi berbicaranya itu saja yang sedikit.
Kini kegiatan di sekolah hampir berakhir. Rekaman perkembangan Za di sekolah nampak begitu jelas. Banyak kemajuan dalam perkembangannya, terutama dalam berbahasa. Frekuensi berbicara Za sudah lebih banyak dibandingkan saat semester 1 dimana kali pertama aku baru mengenalnya. Intonasi berbicaranya semakin nampak, sesekali ia mengekspresikan hal yang ia rasakan, seperti lelah atau hal-hal yang tidak ia mengerti. Dan tadi adalah saat-saat dimana aku memberikan porsi lebih untuk Za. Ya, aku berusaha menerapkan komunikasi produktif di #Hari2 bersama Za. Kami berbincang ditengah-tengah kegiatan pesantren kilat di sekolah. Kurang lebih kami melalui 15 menit bersama. Pembelajaran masih tentang cara mewarnai dengan menggunakan teknik gradasi. Kegiatan yang sedang naik daun di sekolah kami. Hal tersebut betul-betul menjadi hal baru bagi murid-muridku. Wajar jika mereka belum merasa bosan.
Jika kemarin kami mewarnai di lembar kerja yang berukuran A3 dengan gambar masjid dan sepasang anak kecil memegang buku, kali ini kami mewarnai gerakan-gerakan shalat. Za nampak datar tak begitu antusias. Ada 3 kegiatan yang harus dilakukan anak-anak. Bermain flash card, puzzle, dan mewarnai gradasi. Za mengawali kegiatannya bersamaku, mewarnai gradasi. Ia hanya ingin menggerakkan tangannya jika aku turut memegang tangannya. Disini saatnya aku mencoba komunikasi produktif. Aku memberikannya motivasi, “Za pasti bisa!”. Za hanya menatapku sambil sedikit merengek. Ia tak ingin jika aku melepaskan tangannya sambil berkata, “Za nggak bisa”. Lagi-lagi aku berkata dengan sabar dan dengan nada yang ramah, “Za bisa, Za pasti bisa”.

Singkat cerita kegiatan itu berhasil selesai. Ia merapihkan perlengkapan mewarnai tanpa disuruh meski akhirnya ia enggan melanjutkan kegiatan bermain lainnya.

Kamis, 01 Juni 2017

#Hari1 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif


Tiba saatnya untuk mengerjakan tantangan yang diberikan Kelas Bunda Sayang di Institut Ibu Profesional Banten. Tantangan 10 hari #komunikasiproduktif. Tantangan yang harus dilakukan oleh member terhadap pasangan atau anak. Berhubung aku belum menikah dan keseharianku mengajar di TK kelompok usia 4-5 tahun, maka aku memanfaatkan kesempatan bersama anak-anak di sekolah untuk mengerjakan tantangan ini.
Tantangan 10 hari tersebut dimulai hari ini, 1 Juni 2017, tapi karena hari ini libur nasional dan ketentuan mengerjakan tantangan telah diumumkan jauh-jauh hari, maka kemarin aku telah bersiap mempraktekkan komunikasi produktif dengan muridku.

#Hari1 (31 Mei 2017)
Pada tantangan hari pertama, aku mencoba mempraktekkan komunikasi produktif dengan murid-muridku. Tidak spesifik pada satu anak. Ada beberapa indikator dalam melakukan komunikasi produktif, yaitu gunakan kalimat tunggal, bukan kalimat majemuk, kendalikan emosi suara dan gunakan suara ramah, katakan apa yang kita inginkan, bukan yang tidak kita inginkan, fokus ke depan, bukan masa lalu, ganti kata “tidak bisa” menjadi “bisa”, fokus pada solusi bukan pada masalah, jelas dalam memberikan pujian dan kritikan, mengganti nasihat menjadi refleksi pengalaman, mengganti kalimat interogasi dengan pernyataan observasi, ganti kalimat yang menolak/mengalihkan perasaan dengan kalimat yang menunjukkan empati, dan mengganti perintah dengan pilihan.
Setelah mengetahui indikator-indikator tersebut, banyak hal yang ternyata baru aku sadari menjadi kesalahan dalam berkomunikasi dengan murid-muridku. Namun ada juga hal-hal positif yang tanpa disadari telah aku praktekkan, seperti penggunaan suara yang ramah, mengganti kata “tidak bisa” menjadi “bisa”, dan memfokuskan masalah pada solusi bukan pada masalah itu sendiri. Terkait kesalahan dalam berkomunikasi, aku mencoba untuk memperbaikinya satu per satu dalam rangkaian tantangan 10 hari ini. Hal pertama yang akan aku perbaiki ialah terkait kebiasaanku yang masih menggunakan kalimat majemuk dalam berkomunikasi dengan muridku, seharusnya yang aku gunakan adalah kalimat tunggal.
Contohnya, aku sering sekali mengatakan pada muridku, “setelah selesai mewarnai, pensil warnanya rapihkan, lalu simpan di keranjang ya! Buku gambarnya simpan di meja lalu berdoa sebelum cuci tangan dan makan”. Kalimat yang baru aku sadari panjangnya bak gerbong kereta L

Kemarin aku mencoba mengubah pola komunikasiku dengan anak-anak, salah satunya aku praktekkan pada Baba, muridku yang berusia 5 tahun. Ia mengatakan telah lelah belajar mewarnai dengan teknik gradasi, lalu aku segera menyarankan padanya untuk istirahat. Ia pun segera beranjak sambil membereskan krayon. Setelah selesai dengan pekerjaannya itu, aku baru melanjutkan kalimatku, “simpan krayonnya di keranjang ya!”. Baba pun melakukan apa yang aku perintahkan. Setelah selesai menyimpan krayon, tersisalah lembar mewarnai yang masih tergeletak di lantai. Baba membawa lembar kerjanya itu kemudian berjalan melihat sekeliling. Ia bingung dimana tempat untuk menyimpan lembar kerjanya itu. Setelah beberapa saat ku perhatikan, barulah aku kembali memberinya perintah, “simpan di meja hijau itu ya, Nak”. Baba pun menuruti perintahku sambil tersenyum.