Rabu, 19 April 2017

Si Kembar yang Tak Mau Ditinggal Pergi



Malam Selasa lalu nafasnya masih terengah-engah ketika harus mengayuh sepeda selepas shalat Maghrib. Masker kain berwarna coklat menutup hidung dan mulutnya. Tas punggung berwarna serupa tak pernah absen untuk menemani aktivitasnya mengajar privat Senin petang itu. Tetesan peluh bertambah karena jaket abu-abu bergaris kuning membungkus tubuhnya. Pikirannya masih dikelilingi bayang-bayang waktu yang tersisa untuk bisa berjumpa dengan Danish dan Danisha. Dua anak kembar kelas 4 SD yang kurang lebih selama 7 bulan ini dekat dengannya. Tak hanya sekedar hubungan guru privat dan murid, ia berusaha untuk menjadi teman bagi muridnya tersebut.
Hanya butuh waktu kurang dari 15 menit dari kontrakan untuk sampai ke perumahan tempat tinggal si kembar. Lokasi yang tak bisa dibilang dekat, tapi juga tak terlalu jauh sering membuatnya mengeluh. Ditambah lagi waktu mengajar yang terjadwal setiap petang menjelang malam, dua kali seminggu, Senin dan Rabu, seringkali membuat dirinya sendiri khawatir jikalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Maklum, setangguh apapun dirinya, ia hanya seorang perempuan yang merantau jauh dari keluarga. Ia anak satu-satunya pula, harapan terbesar keluarga ada di pundaknya. Otomatis ia harus pandai-pandai menjaga diri.
Serentetan hal tersebut ia jadikan alasan untuk berhenti mengajar privat per 10 April nanti. Awalnya ia mengira semua akan terasa mudah dan ringan, namun keceriaan dan kalimat lugu dari kedua muridnya itu seketika memberatkan hati. Danish dan Danisha dengan polosnya berujar jika mereka tak ingin ditinggalkan oleh guru privatnya itu. Katanya, mereka masih ingin diajari bertahun-tahun lagi. Entah sungguh-sungguh atau hanya sekedar lelucon, tapi sikap Danish yang merengek sambil membanting pulpen dan menendang-nendangkan kaki padanya ketika disinggung jika jadwal pertemuan mereka hanya tinggal beberapa kali lagi membuatnya tampak yakin bahwa mereka tak mau ditinggal. Pun Danisha, meski tak merengek seperti Danish, tapi pertanyaan “kenapa sih ibu harus ninggalin kita? Nanti ibu nemuin kita lagi ngga?” berhasil meninggalkan goresan kecil yang akan selalu terngiang-ngiang dalam kenangannya.
Meski penghasilannya akan berkurang, tapi keputusan yang ia buat sudah bulat: BERHENTI MENGAJAR PRIVAT. Hal lain yang harus ia sadari ialah bahwa fisik dan psikisnya memiliki hak, dan itu sudah saatnya ia penuhi. Ada juga lembaran baru yang sudah menanti untuk ia isi. Berliter tinta telah siap untuk dituangkan dalam ceritanya. Selamat menanti wahai pemimpi!


Serang, 31 Maret 2017

TEPAT SETAHUN YANG LALU

Baginya, kali itu pertama kali ia menginjakkan kaki di badan pesawat. Dan pertama kalinya pula ia terbang ke luar dari negaranya. Thailand menjadi negara yang tanah dan udaranya pertama kali ia pijak dan ia hirup. Ia akan tinggal di negri gajah putih itu untuk rentang waktu empat bulan. Program Inbound Internship telah menanti. Itu bonus baginya dari Sang Maha Penyayang melalui direktur kampus sebagai wasilah.
 Kurang lebih tiga jam perjalanan dengan menggunakan pesawat dari Jakarta. Hanya dengan bibinya ia menuju bandara Soekarno-Hatta, dan hanya sendiri ia berada dalam burung besi. Sedih, bahagia, haru, dan jenaka bercampur menjadi satu rasa. Ia hanya bisa terus berjalan dan menikmati semuanya.
Gamis tanpa lengan berwarna coklat muda, kaos panjang berwarna hitam kerudung dan sepatu berwarna senada menjadi outfit-nya pada saat itu. Lengkap dengan jaket kampus berwarna merah kalau-kalau udara di dalam pesawat ternyata begitu dingin. Satu ransel dan satu koper menemani perjalanannya. Pikirannya masih menerawang setinggi pesawatnya yang terus terbang. Tak hanya sekali penerbangan, tapi dua kali! Bayangkan bagaimana ia tak pucat pasi!
Ia sempat menitikkan air mata karena harus terpisah jauh dari keluarga. Tak ada peluk hangat dari ayah dan ibunya kala itu. Ditambah lagi wajah dan doa sang nenek yang selalu berada paling depan dalam ruang ingatannya. Tergambar jelas ia akan sangat merindukannya kala itu.

Tak usai dengan dua kali penerbangan, sebuah mobil van masih harus mengantarnya menuju tempat yang ia tuju, Mahasarakham. Ia masih ingat betul bagaimana suasana langit kala itu. Cerah tak ada penghalang, persis dengan langit di kampung halamannya. Hanya pemandangan aksara yang mulai berbeda. Kini ia sadar betul telah berada di beda negara. Tak ada lagi orang yang ia kenal hingga sebelum tiba di asrama. Hanya percakapan Whatsapp yang tak mau bergeming, masih ramai dengan sorak kawannya yang tahu bahwa ia sedang ke luar negeri. Ia merasa geli jika mengingat masa itu. Sebegitu istimewanya-kah bisa ke luar negeri? Ah, tepat setahun lalu.


Serang, 4 April 2017