Sabtu, 19 September 2020

Aku dan Perpustakaan

Ada sejuta kenangan bagiku tentang perpustakaan. Kali pertama mengenal perpustakaan ialah saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Meski saat itu sarana perpustakaan yang tersedia sangat sederhana, namun aku masih mengingat dengan jelas bagaimana aku meminjam buku dari perpustakaan SD kemudian membawanya pulang ke rumah untuk kubaca hingga selesai. Tak jarang, saat waktu istirahat tiba, aku mengunjungi perpustakaan untuk membaca bersama teman-teman. Mulai dari buku cerita bergambar, novel, hingga buku pelajaran Bahasa Indonesia dilahap habis olehku. Lucu rasanya saat mengingat bagaimana aku dan beberapa temanku membuka buku pelajaran Bahasa Indonesia hanya untuk kami pilih halaman yang berisi teks percakapannya saja. Biasanya kami akan membagi dialog pada teks percakapan tersebut, kemudian membacanya seolah-olah kami sedang memerankan tokoh yang ada didalam percakapan tersebut.



Satu hal yang juga masih terkenang tentang perpustakaan saat aku masih SD ialah buku dengan judul “Misteri Patung Emas” yang aku pinjam dan aku baca di rumah hingga selesai. Meski telah lupa beberapa bagian ceritanya, dan entah saat kelas berapa aku meminjamnya, namun secara samar aku masih dapat mengingat gambar ilustrasi yang ada di buku cerita tersebut. Warna kuning, hitam, dan biru menghiasi setiap goresan ilustrasi tersebut. Nampak sangat sederhana, namun gambar tersebut seakan lebih dari cukup untuk memberikan imajinasi tentang jalannya cerita bagi anak SD seusiaku pada saat itu. Kini hampir 20 tahun berlalu, bisa menyelesaikan buku “Misteri Patung Emas” yang cukup tebal itu rasanya merupakan sebuah prestasi yang patut aku banggakan.

Menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kebiasaan mengunjungi perpustakaan masih aku pertahankan. Bahkan aku merasa sangat bahagia karena di SMP tempat sekolahku dulu, sarana perpustakaanya lebih lengkap dan memiliki bangunan tersendiri yang terpisah dari bangunan lain. Tidak seperti saat SD yang perpustakaannya masih bergabung dengan ruang guru dan jumlah koleksi buku yang jumlahnya belum terlalu banyak. 

Saat SMP sistem peminjaman buku sedikit berbeda dengan sistem peminjaman di SD yang hanya bermodalkan "kejujuran". Di SMP, aku diharuskan mendaftar dan membuat kartu anggota perpustakaan. Uniknya, aku tidak pernah mengantongi dan membawa pulang kartu perpustakaanku tersebut karena kartu itu selalu "menginap" di perpustakaan. Artinya, setelah masa peminjaman buku habis, aku akan mengembalikan buku dan meminjam buku lain atau memperpanjang masa peminjaman jika buku yang aku pinjam itu lumayan tebal isi halamannya dan perlu waktu lama untuk membacanya hingga selesai. Sebagai tanda bahwa buku perpustakaan tersebut sedang dipinjam, maka kartu perpustakaan tersebut harus aku serahkan kepada petugas perpustakaan. Jika tidak salah, saat SMP dulu setiap siswa diberi waktu pinjam selama 3 hari dan jika telat mengembalikan buku maka akan dikenakan sanksi.

Saat SMP, waktu istirahat disela-sela jam pelajaran masih menjadi waktu favorit bagiku untuk mengunjungi perpustakaan. Biasanya aku akan pergi sendirian ke perpustakaan dan betah berlama-lama untuk memilih buku atau sekedar melihat koleksi yang dipajang di rak kayu cokelat yang kondisinya cukup lapuk pada saat itu. Tersedia banyak jenis buku, mulai dari komik, novel, ensiklopedia, buku pelajaran, buku prakarya, hingga buku-buku cerita terjemahan dari bahasa Inggris. Pada saat itulah pertama kalinya aku mengenal buku cerita karya penulis luar negeri, Roald Dahl. Aku lumayan beruntung karena perpustakaan SMP-ku memiliki koleksi buku karya Roald Dahl versi terjemah bahasa Indonesia yang cukup lengkap.


"Charlie dan Pabrik Cokelat" merupakan karya Roald Dahl yang aku baca hingga selesai, kemudian menyusul buku-buku berikutnya, yaitu "Matilda", "Mr. Fox yang Fantastic", dan seterusnya. Selain buku-buku Roald Dahl, aku juga memiliki kenangan dengan buku komik terjemahan ber-genre misteri. Namun sayang, aku telah lupa judul dan pengarang buku tersebut. Kemudian buku jenis ensiklopedia tentang berbagai pengetahuan seperti flora, fauna, hingga benda-benda luar angkasa juga tak luput kupinjam dan kubawa pulang untuk dibaca di rumah. Kebiasaan mengunjungi dan meminjam buku terus aku lakukan hingga aku lulus SMP. Tak heran jika pada saat itu petugas perpustakaan cukup hafal namaku dan mengenal wajahku dengan baik.

Sedikit kenangan sedih tentang perpustakaan harus aku alami saat memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA). Pasalnya perpustakaan di SMA-ku pada saat itu bisa dibilang belum terkelola dengan baik. Ruangan khusus perpustakaan memang ada, namun koleksi buku yang tersedia jauh dari kata lengkap dan menarik. Jumlahnya pun tak bisa dibilang banyak. Rak-rak yang berdiri sebagian besar hanya terisi oleh buku-buku pelajaran dari tahun akademik sebelumnya. Hingga akhirnya sekolahku melakukan sedikit demi sedikit perbaikan, termasuk pengelolaan perpustakaan. Ruang baca dirapihkan, dan koleksi buku perlahan mulai bertambah. Aku masih berusaha menyempatkan diri mengunjungi perpustakaan di SMA, meski tak rutin seperti saat aku SMP dulu. Aku hanya mengingat dua buah buku perpustakaan SMA yang menarik untuk kupinjam pada saat itu, yaitu "Harus Bisa!" dan "The Heart of 7 Awareness".



Akibat rasa rindu terhadap aktivitas di perpustakaan yang kurang tersalurkan saat SMA, aku pun mendaftarkan diri menjadi anggota di salah satu perpustakaan di luar sekolah. Meski dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki, lokasi perpustakaan tersebut cukup membuatku lelah sepulang sekolah. Selain itu, perpustakaan yang dikelola secara pribadi tersebut kebanyakan menyediakan majalah dan buku anak-anak, sehingga rutinitas berkunjung ke perpustakaan pun tidak bisa aku lakukan secara rutin.

Menginjak dunia kampus, kenanganku dengan perpustakaan pun kembali terukir. Awalnya memang perpustakaan kampusku belum terkelola dengan sempurna, artinya koleksi buku belum terlalu banyak dan sebagian besar buku yang tersedia merupakan buku lawas yang kurang sesuai untuk dimanfaatkan dengan kebutuhanku sebagai mahasiswa pada saat itu. Untungnya kondisi tersebut tak berlangsung lama. Saat direktur kampusku berganti kepemimpinan, sedikit demi sedikit fasilitas perpustakaan diperbaiki. Lokasinya dipindah ke gedung baru, lebih nyaman dan lebih luas. Koleksi buku pun bertambah, meski beberapa jenis buku tidak dapat dipinjam secara bebas oleh mahasiswa.

Merasa masih kurang dengan koleki buku yang disediakan perpustakaan kampus, aku pun memilih pelarian dengan mendaftarkan diri di perpustakaan daerah. Ini kali kedua aku mendaftarkan diri di perpustakaan umum. Sebelumnya, aku juga pernah mendaftarkan diri di perpustakaan milik pemerintah kabupaten di kampung halamanku. Namun perpustakaan tersebut terbilang kecil dan jauh dari kriteria koleksi buku yang lengkap dan terbaru.

Saat kuliah, aku akan mengunjungi perpustakaan daerah jika hanya ada tugas dari dosen saja karena lokasinya yang harus dijangkau menggunakan kendaraan umum. Maklum, status sebagai mahasiswa yang merantau menuntutku untuk bisa hemat-hemat mengeluarkan uang.

Di perpustakaan daerah itulah aku menemukan kebahagiaan. Tempatnya nyaman, koleksi bukunya lengkap, banyak buku baru yang aku temui, dan fasilitasnya dilengkapi dengan koneksi internet gratis. Banyak buku yang aku pinjam pada saat itu, mulai dari buku sejarah tentang Soekarno, novel karya mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, buku-buku prakarya, hingga buku-buku yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Intinya keberadaan perpustakaan daerah sangat membantuku, terlebih saat aku mempersiapkan diri untuk pembuatan proposal penelitian guna memenuhi syarat penelitian di Thailand. Banyak referensi yang aku kumpulkan di perpustakaan daerah tersebut hingga akhirnya aku berhasil terbang ke Thailand pada bulan April 2016 dalam rangka mengikuti Inbound Internship Program of Mahasarakham University, Thailand.

Program gratis yang diselenggarakan oleh Universitas Mahasarakham itu secara tak sengaja kembali membawaku berkunjung menjelajahi beberapa perpustakaan kampus yang ada di Thailand. Yang pertama tentu saja perpustakaan di Fakultas Pendidikan Universitas Mahasarakham. Meski kebanyakan bukunya berbahasa Thai, tapi jangan salah, koleksi buku berbahasa Inggris disana lebih dari cukup. Aku dapat dengan mudah menemukan referensi untuk menyusun bahan penelitian tentang pembelajaran yang menyenangkan untuk anak usia dini. Kondisi perpustakaannya pun terbilang mewah dan sangat nyaman. Terdiri dari 2 lantai, perpustakaan di Fakultas Pendidikan Universitas Mahasarakham dilengkapi dengan kursi, meja dan sofa-sofa yang nyaman. Tersedia pula layar TV besar, internet gratis, dan pendingin ruangan.

Perpustakaan tersebut bukan satu-satunya perpustakaan yang aku kunjungi. Saat mendapat kesempatan untuk pergi dengan dosen pembimbingku ke Fakultas Pendidikan di Universitas Khon Kaen, yang merupakan almamaternya, beruntung aku bisa singgah di perpustakannya. Serupa dengan perpustakaan di Fakultas Pendidikan Universitas Mahasarakham, fasilitas perpustakaan di akultas Pendidikan di Universitas Khon Kaen pun sangat nyaman dan mewah. Meski luas dan ramai pengunjung, suasana perpustakaanya begitu damai dan tertib. Interior yang tertata rapih juga mampu memanjakan mata.

Beruntungnya aku bisa mengenal perpustakaan di berbagai tempat. Semuanya memiliki tempat yang istimewa bagiku. Perpustakaan telah menjadi tempat paling asyik, gudangnya ilmu pengetahuan dan sumber informasi. Semoga kebiasaan berkunjung ke perpustakaan tetap tertanam dalam kehidupanku. Dan yang paling penting ialah kebiasaan untuk membaca buku yang harus selalu aku lakukan guna memotivasi diri untuk terus lebih baik dan menginspirasi orang-orang disekitarku untuk dapat mencintai ilmu.