Jumat, 09 Maret 2018

"Yang berat itu bukan rindu, tapi jauh dari partner terbaik."


Beberapa tahun lalu saya dipertemukan dengan dua sosok shaleha yang anggun dan cerdas. Keduanya pendidik yang juga giat dalam berorganisasi di bidang perempuan. Keduanya mahir menulis dan menyukai dunia parenting. PR besar bagi saya untuk meneladani mereka berdua.😆
Sosok berkerudung ungu sedang berjuang dengan thesis di program master manajemen pendidikan. Entah bagaimana beliau mengatur waktu antara mengurus keluarga, menjalani profesi, berkiprah di organisasi, dan menuntaskan studi. "Teh Marfa", begitulah sapaan dari saya untuknya. Jika berkesempatan dekat dengannya, saya selalu berusaha "mencuri" ilmu darinya.🤭
Tak jauh berbeda dengan Teh Marfa, Teh Ririn juga patut
saya teladani karena semangatnya dalam menambah jam terbang sebagai pendidik. Saya selalu rindu pada tulisan-tulisannya yang manis. Entah bagaimana ia mampu menyempatkan diri untuk menceritakan setiap gerak-gerik anak didiknya dalam bentuk uraian yang apik. Karena bagi saya, merangkai setiap momen kedalam slide show saja sudah menjadi pekerjaan yang cukup melelahkan.😅
Jika setahun lalu saya masih bisa bercengkrama bersama mereka dalam rapat yang tak jarang berlangsung singkat, kini saya hanya mampu menahan rindu. Saya juga menjadi paham, yang berat itu bukan rindu, tapi berada jauh dari partner terbaik.😥
Namun, "jauh" ini bukan karena saya hendak menjauh. Tapi karena langkah harus terus melaju, karena masih banyak bagian bumi yang belum dipijak. Rindu kalian, partner terbaik...🙂

PHI NAM

"Phi" merupakan sebutan yang berarti "kakak" dalam bahasa Thailand. Nama lengkapnya Namnana Ooranot. Phi Nam ialah sosok cantik berkewarganegaraan Thailand yang pertama kali saya kenal April 2016 lalu. Ia ramah dan pandai menari tarian tradisional Thailand. 💃
Oktober 2017 lalu untuk pertama kalinya ia mengunjungi Indonesia untuk mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh UPI Serang. Saya turut serta dalam kepanitiaan. Kali kedua ia kembali datang ke Indonesia untuk kepentingan yang sama, yaitu seminar lanjutan pada April 2017. Kami menyambutnya dengan gembira.😍
Tak lebih dari seminggu kami menghabiskan waktu bersama setiap kali kedatangannya. Serang dan Bandung menjadi destinasi yang dapat kami nikmati bersama. Menemaninya mengunjungi berbagai tempat dan membantu keperluannya menjadi hal unik dan kenangan tersendiri bagi saya. 💕
Kendala Phi Nam yang tak bisa berbahasa Indonesia menjadi pemanis hari-hari selama kebersamaan kami. Terkadang saya merasa asing meski hanya seminggu membersamainya dengan berbahasa Inggris full. Tak jarang saya menyapanya dalam bahasa Thailand untuk mencairkan suasana.😅
Kalimat-kalimat sederhana seperti "Sawadi kha (halo)", "Kin kao mae? (mau makan nasi tidak?)", "Neuai mae? (capek tidak?)", "Arroy mae?, (enak tidak?)", menjadi kalimat sederhana yang sering saya lontarkan pada Phi Nam. Dengan ramah ia menjawab pertanyaan saya dan tak jarang ia balik bertanya "Yena, neuai mae? (Yena, capek tidak?)".😊
Jika sudah mendapatkan pertanyaan seperti itu, rasanya saya ingin segera mengambil cermin dan berkata dalam hati "apakah wajah saya terlihat sangat lusuh di hadapannya sehingga ia berpikir bahwa saya lelah karena selalu siaga menemaninya?"😅😅😅
Hingga suatu ketika insiden kecil terjadi. Phi Nam tiba-tiba bergegas mencari tempat duduk dan mencopot sepatu sebelah kirinya ketika kami dan rombongan sedang berkeliling mengunjungi tempat wisata Floating Market di Lembang, Bandung.

Tak lama kemudian ia memperlihatkan bagian bawah sepatunya. Ternyata ada sebuah jarum yang menancap. Tanpa berpikir panjang, saya meraih sepatunya dan mencoba mencabut jarum itu. Usai kejadian itu, kami memesan camilan dan menikmatinya di pinggir danau. 🌯🥤
Tak lama berselang, handphone saya bergetar. Sambil mengobrol santai, saya mengecek handphone, ternyata Phi Nam mengirim beberapa hasil jepretan manis saat saya sedang berusaha mencabut jarum di sepatunya. Tak lama kemudian Phi Nam mengajak saya untuk kembali berfoto dengan kondisi sepatunya yang masih ada di tangan saya.😆👟

BERKOMUNITAS, PENTINGKAH?



Fitrahnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Makna tersebut bisa memiliki banyak arti. Apakah hanya sebatas untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, atau telah sampai pada tahapan memberikan manfaat bagi orang lain.
Tak jarang kita mendengar istilah "khoirunnas anfa'uhum linnas", sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Maknanya tak lantas kita harus menjadi seorang 'super hero' agar bermanfaat bagi orang lain, namun sebaimana rumus 3M Aa Gym, kita haruslah memberikan kebermanfaatan dengan cara "Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil, dan mulai dari sekarang".
Tepat pertengahan 2012 saya baru memahami makna dan urgensi komunitas. Berkomunitas sendiri sebenarnya telah saya lakukan diawal 2005. Namun pergerakannya hanya sebagai "pelengkap", bukan "penggerak".
Bagi saya, kenangan terindah ada pada saat saya menduduki bangku kuliah. Hingar bingar dunia kampus menggiring saya untuk mendalami organisasi. Berawal dengan niat awal yang tak ingin menjadi tipe mahasiswa "kupu-kupu", saya bergabung dengan beberapa organisasi yang memberikan saya banyak makna yang berarti.
Awalnya saya berpikir bahwa apa yang saya lakukan tak berarti apa-apa. Namun kecintaan itu nyata adanya setelah kita betul-betul berusaha mengenal apa yang sedang kita jalani. Berorganisasi mengenalkan saya kepada banyak hal, hingga saya mengetahui alasan mengapa diri saya lahir di dunia ini.
Memang perubahan itu merupakan basis besar yang tak mampu kita lakukan seorang diri, namun itu akan lebih tidak berarti jika kita berlari acuh dan menjauh. Karena sejatinya kita diciptakan oleh-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi, maka jadilah inspirasi!