Selasa, 26 Juli 2016

Kisah Manis di "Negeri Komunis" part 2


Selasa, 19 Juli 2016
Pemandangan dari lantai dua rumah  Ajarn Fa.
Setelah Senin malam pergi mengelilingi Vientine usai makan malam, paginya aku terbangun dan shalat subuh seperti biasa. Tak lupa aku membuka jendela ruangan yang menjadi tempat istirahatku di rumah Ajarn Fa. Ruangan yang berada di lantai dua dengan dua desain jendela yang berbeda pula di dua dinding kamarnya. Latar belakang pemandangan langit, gedung, dan pepohonan menjadi suguhan nan teduh bagiku. Rugi jika aku tidak membiarkan udara pagi masuk kedalam ruangan itu. Lukisan alam nan biru membentang sejauh mata memandang. Dapur tradisional dari rumah disamping rumah Ajarn Fa menjadi penghias unik yang dapat terlihat jelas dari atas. Sungguh nyata namun seakan-akan aku di alam mimpi. "Aku di Laos?", batinku.
Pagi itu aku niatkan untuk melihat kegiatan di PAUD milik Ajarn Fa. Kupersiapkan ponselku untuk memotret atau merekam aktifitas mereka. Tak lama keluar rumah, beberapa orang siswa menyapaku dengan kata "sabaydee" (baca: sabaydi) yang berarti "halo" dalam bahasa Laos. Dan tanpa kusangka ada satu anak lelaki kecil nan tampan mengucapkan "selamat datang". Aku tersenyum kemudian kuelus rambutnya. Tak asing memang jika para murid itu bisa mengucapkan "halo" dalam beberapa bahasa di negara ASEAN, karena sekolah mereka sengaja mengajarkannya. Aku sudah melihat dan merekam bagaimana mereka bernyanyi menggunakan 10 bahasa negara-negara ASEAN. Lagu yang liriknya sangat sederhana, yaitu ucapan-ucapan selamat yang lazim digunakan di masing-masing negara tersebut.
Pagi itu siswa-siswi PAUD melakukan rutinitas di pagi hari seperti biasa. Berbaris, berdoa, dan melakukan gerakan ringan dengan diiringi musik. Mereka menggunakan pakaian bebas. Pada hari-hari tertentu mereka menggunakan seragam. Mereka anak-anak yang sangat lucu. Usia mereka berkisar antara 2-6 tahun. Usai melihat aktifitas mereka sebelum masuk kelas, Ajarn Bouvanh menyapaku dan mengajakku masuk ke ruangannya untuk sarapan bersama. Ia memberiku dua kepal nasi ketan yang dibalut dadar telur. Sajiannya dengan cara ditusuk seperti sate. Sayang aku tidak sempat mengabadikan gambarnya. Tak berapa lama, sepupu Ajarn Fa mengetuk pintu ruangan untuk memberitahuku bahwa kakak perempuan dari Ajarn Fa sudah datang. Tiba waktunya untuk jalan-jalan. Aku pun pamit pada Ajarn Bouvanh .
Di depan monumen Patuxai.
Aku bergegas menuju mobil milik kakak perempuan dari Ajarn Fa. Kami bertegur sapa dan mobil pun melaju. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah mini market. Kakak perempuan dari Ajarn Fa akan membelikanku beberapa kudapan untuk dimakan di restoran. Kala itu waktu sarapan. Ia tahu aku tak bisa makan daging babi ataupun daging ayam dan sapi tanpa label halal. Empat cup yogurt kami bawa pulang dari mini market. Perjalanan kami lanjutkan menuju sebuah restoran yang aku lihat cukup ramai. Sementara mereka berdua memesan makanan, aku hanya memesan jus alpukat. Usai makan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju landmark negara Laos, Patuxai.
Masing-masing dari kami sibuk mengambil gambar. Cuaca siang itu sangat panas. Kami bermandikan keringat. Tapi sekali lagi aku tetap teduh dengan hijabku. *hehe. Aku beruntung bisa naik ke puncak monumen Patuxai. Meski ngeri karena takut ketinggian, tapi pemandangan indah yang terlihat dari atas gedung nampak begitu nyata terpampang manja. *yakelaaaaah Syahyena





 Rabu, 20 Juli 2016
Saatnya kembali ke Thailand. Selasa malam aku sudah bersiap untuk tidur cepat agar bisa bangun lebih cepat pula untuk bersiap-siap berangkat pukul 6 pagi. Sore sebelum itu Ajarn Fa menawarkan padaku untuk pergi bersama ibunya yang juga akan pergi ke Nongkhai, Thailand. Beliau memberitahuku bahwa aku bisa ikut satu mobil dengan adik Ajarn Fa, ibunya, dan beberapa rekan Ajarn Fa. Mereka akan mengantarkanku menuju terminal bus Nongkhai untuk kemudian menaiki bus jurusan Nongkhai-Ubonracathani yang akan turun di Mahasarakham. Aku pun menyetujuinya. Namun nyatanya malam itu aku tak bisa tidur. Hingga pukul 2 pagi aku masih terjaga. Entah tepatnya pukul berapa aku tidur. Alarm pukul 4 membangunkan tidurku dan aku langsung bergegas menuju kamar mandi. Setelah semua hal yang harus aku lakukan di pagi hari selesai, aku turun ke lantai satu dengan membawa satu tas gendong dan satu totebag. Kulihat paman Ajarn Fa sedang berdiri di dapur untuk meyiapkan sesuatu. Aku menyapanya dengan kalimat "sabaydee" (halo; bahasa Laos). Ia pun tersenyum ramah seperti kali pertama aku bertemu dengannya pada hari kedua aku tinggal di rumah Ajarn Fa. Uncle Win, begitulah panggilan dariku untuknya. Seorang pria berambut putih dan pintar bahasa Inggris. Kami bagaikan cucu dan kakek.
Yang katanya teh dari sayuran.
Usai menyapa Uncle Win, aku pun menghampirinya. Aku menaruh barang bawaanku didekat pintu masuk menuju dapur. Aku pun duduk di kursi makan dengan niat mengajak uncle Win berbincang. Ia menyambutku dengan sumringah dan menanyakan bagaimana tidurku semalam, nyenyak ataukah tidak. Jelas aku jawab "sleep well, uncle" untuk membuatnya tidak khawatir. Uncle Win menanyakan padaku apakah aku bisa meminum susu coklat atau tidak. Jelas kujawab "ya". Ia pun langsung mencari kunci rak dapur untuk mencari susu coklat bubuk. Namun kuperhatikan ia tak dapat menemukannya. Aku berkata padanya tak apa jika memang tidak ada, tak usah repot-repot. Uncle Win malah mengeluarkan satu toples kecil yang berisi dedaunan kering berwarna ungu kehitam-hitaman yang tidak aku ketahui itu apa.
Uncle Win memberitahuku bahwa itu adalah teh dari sayuran yang dikeringkan. Dari sinilah hal lucu terjadi. Ia langsung mengambilkan cangkir dan sendok kecil. Setelah sedikit banyak menjelaskan tentang dedaunan kering tersebut, Uncle Win menaruh sejumput daun ungu kering tersebut kedalam cangkir lalu menuangkan air panas kedalamnya. Pada saat itu aku masih berusaha memancarkan wajah antusias untuk mencicipi teh karena aku berusaha menghargai usaha uncle Win yang begitu ramah menjamuku. Belum dingin minuman yang katanya teh sayuran tersebut, uncle Win menunjukkan satu toples lebih kecil yang berisi bubuk daun kering berwarna hijau. Ia kembali mengambil gelas beserta tatakannya. Ditaruhnya sejumput bubuk kering berwarna hijau itu dan tak lupa ia menuangkan air panas kedalam gelas. Inilah saatnya aku mulain mencicipi minuman pertama yang katanya teh dari sayuran. Uncle Win bilanh teh sayuran itu akan berwarna kuning, tapi nyatanya tidak. Air dari seduhan sayuran kering itu tetap bening meski telah kuaduk. Kucium aroma teh yang katanya dari sayuran itu, tapi kenapa perasaanku gak enak ya?! Kenapa baunya seperti rumput laut kering yang diseduh air! Aku mengumpulkan tenaga dalam untuk mencicipinya. *hahaha. Bagaimana tidak, mencium aromanya saja aku sudah tidak yakin bahwa itu adalah teh! Dan benar saja, setelah mencicipi rasanya aku langsung bergidik ingin muntah. *wkwkwk. Tapi jelaslah aku tetap menahannya dan berkata "wah... enak uncle!" dengan wajah penuh dusta. *hahaha.
Teh tersebut tetap kuminum perlahan dengan menggunakan sendok kecil sambil berharap ibu Ajarn Fa segera pulang dari olahraga paginya untuk kemudian mandi dan segera berangkat ke Nongkhai. Tapi hingga setengah cangkir teh kuminum, ibu Ajarn Fa belum datang juga. Malah sendok kecilku diganti Uncle Win dengan sendok yang lebih besar! *masyarakaaat. Kuselingi minum teh itu dengan menyantap kudapan yang terus menerus dikeluarkan dari lemari dapur oleh Uncle Win. Dari mulai wafer coklat, buah apel, pisang, sampai berbagai macam minuman kemasan! Untuk bekalku di perjalanan katanya. Aku pun hanya mengucapkan terima kasih pada Uncle Win.
Ini baru teh hijau :D
Saat yang kutunggu-tunggu pun tiba. Ibu Ajarn Fa kembali dari olahraganya. Ia membuka sepatu dan menghampiriku. Ia menengok apa yang aku minum. Aku menyampaikan padanya bahwa semua ini buatan Uncle Win. Tanpa diduga ibu Ajarn Fa pun memberitahuku bahwa itu bukan teh! Tapi nori untuk membuat sup! Seketika aku langsung menggeser jauh-jauh cangkir teh nori itu dan menggeser dekat-dekat gelas yang berisi teh hijau. Aku pun segera meminum teh hijau setelah sebelumnya bertanya pada Me (panggilanku untuk ibu dari Ajarn Fa, yang artinya sama dengan "ma" atau "mama"). Me pun menegaskan bahwa yang benar-benar teh adalah teh hijau itu. Ia berkata bahwa Uncle Win tidak tahu bahwa nori itu untuk bahan sup, bukan untuk diseduh menjadi teh. Aku hanya bisa tertawa bodoh. *wkwkwkwk. Hingga aku berangkat, Uncle Win tidak kami beritahu bahwa ia salah. Aku sampaikan pada Me bahwa hal tadi tidak masalah bagiku, jangan beritahu Uncle Win. Kami pun sepakat.

Waktu yang dijanjikan pun tiba, lebih 30 menit malah. Aku masih harus menunggu ibu dan adik Ajarn Fa untuk bersiap-siap. Teh hijau pun sudah habis kuminum. "Nah ini baru teh, sedap!", batinku. Tak berapa lama Me pun sudah siap. Ajarn Fa pun datang ke dapur dengan kondisi baru bangun tidur dan kulihat ia masih mengantuk. Aku bertanya kabar dan memastikan apakah ia akan ikut pergi ke Nongkhai. Ajarn Fa mengeluh tak enak badan dan ia tidak ikut serta ke Nongkhai. Ajarn Fa kemudian melongok wadah kecil yang berada disampingku. "Bekal dari Uncle Win", sambarku tanpa ditanya. Dan tanpa diduga Ajarn Fa malah menambahkan isi kantong tersebut dengan beberapa bungkus makanan ringan.
Sambil menunggu ibu dan adik Ajarn Fa, aku berbincang dengan Uncle Win. Dari perbincangan tersebut aku baru tahu bahwa Uncle Win pernah tinggal dan bekerja di Amerika selama 15 tahun. Masa mudanya ia habiskan untuk merantau. Sebelumnya, ia tinggal di provinsi Korat yang berada di Thailand untuk sekolah dan tinggal bersama pamannya, kemudian ia pergi ke Amerika. Ia sendiri baru 6 tahun terakhir kembali dan tinggal di Laos. Hmmm pantas saja bahasa Inggrisnya lumayan! *hehe.
Tibalah saatnya aku berpamitan dengan keluarga Ajarn Fa. Usai berpamitan dengan uncle Win, aku berpelukan dengan Ajarn Fa dan juga keponakan perempuannya, Hingga aku naik ke mobil, entah kenapa uncle Win tak turut menghantarku. Selang beberapa menit sebelum berangkat, uncle Win muncul dan memberiku sebuah dompet kecil berisi uang logam baht Thailand. Aku pun mengucapkan terima kasih dan benar-benar antusias menerimanya. Semua persiapan sudah selesai, kami pun berangkat menuju Laos border dan terminal bus Nongkhai. Selamat tinggal Vientine, selamat tinggal Laos. Terima kasih telah memberikan kisah manis dalam hidupku. Manisnya suasana kekeluargaan dan manisnya toleransi dalam perbedaan.
Uncle Win saat memberiku dompet kecil.
Tiket bus Nongkhai-Mahasarakham

Suasana terminal bus Nongkhai.
Saat bus yang aku tumpangi beranjak pergi.



Selesai ditulis di Mahasarakham, 21-27 Juli 2016



Senin, 25 Juli 2016

Ini Mimpi?

Hasil laporanku di Inbound Internship Program of MSU, Thailand.
Hari ini hari yang sangat bersejarah bagiku. Tegang dan ingin menangis adalah perasaan dominan yang aku rasakan saat ini. Tak dapat lagi aku membaca hasil laporanku sendiri. Rasanya tak masuk di kepala dan aku hanya ingin terjun langsung menerangkan slide by slide. Tak mau menunggu lama, ingin rasanya cepat usai, cepat berlalu, kemudian pulang ke Indonesia. Rindu! 
Ini bagai mimpi. Benarkah apa yang aku alami ini?
"Karena aku ingin menjadi pembicara dalam presentasi internasional", itulah jawabku Agustus tahun lalu ketika teman satu kelasku di Kampung Inggris-Kediri bertanya perihal tujuanku jauh-jauh datang ke Pare. Aku sadari kini mimpiku menjadi kenyataan. Ternyata ini bukanlah hal mudah. Nama universitas dan negaraku dipertaruhkan. Aku yang tak memiliki pengalaman penelitian dan menulis ilmiah  sebelumnya harus diperparah dengan keadaan dosen pembimbingku disini yang super sibuk. Hasil laporanku tak sedikitpun ia "sentuh". Laporanku ini bak tulisan sihir tanpa mantra alias sejadi-jadinya. Namun kembali aku sadar bahwa hal-hal tersebut lantas tak harus menjadi alasan yang hanya dapat memperburuk keadaan.

"Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya". (Q.S Al-Baqarah: 286)

Hanya ayat itu yang berusaha kuingat. Bismillah, aku yakin pasti bisa. Percaya diri dan berani mencoba untuk terus belajar adalah dua hal penting yang harus aku tunjukkan. Satu lagi nasehat sakti yang membuatku harus yakin bahwa aku bisa bahwa Alloh memberimu ujian yang berat karena Alloh juga menitipkanmu pundak yang hebat. Jangan khawatir, Alloh tidak akan membiarkanmu berjalan sendiri.
Kurang lebih satu jam lagi presentasiku dimulai di ruang 5309 gedung fakultas pendidikan MSU. Duduk sendiri dengan ditemani kekhawatiran membuatku memilih untuk tak banyak bicara dengan Phi Pet yang berada di meja sebelah. Hanya sapaan pagi yang terucap saat ia baru saja tiba di research clinic. "Su su!" (bahasa Thai) yang berarti "semangat!" dan pelukan ia berikan padaku setelah sebelumnya bertanya tentang presentasiku siang nanti.
Bismillah. Kali pertama presentasi menggunakan bahasa Inggris dan di negeri orang. Ini mimpi?

Mahasarakham, 26 Juli 2016

Jumat, 22 Juli 2016

Kisah Manis di "Negeri Komunis" part 1

Total 3 hari aku telah berkesempatan tinggal di Laos. Selama itu pula kemudahan demi kemudahan telah Alloh berikan padaku. Niat hati pergi ke Laos hanya demi mendapatkan visa untuk kembali melanjutkan internship di Mahasarakham, Thailand, keluarga baru, pengalaman baru dan jalan-jalan gratis menjadi bonus yang aku dapatkan. Tak hanya itu! Semula biaya visa yang sangat aku khawatirkan mahal, ternyata bisa aku dapatkan secara gratis!

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar Rahman: 13)

Minggu, 17 Juli 2016

Hanya rasa cemas yang menemaniku sepanjang malam hingga pagi sebelum keberangkatanku ke Laos. Selain cemas akan hal yang akan aku lakukan untuk pertama kalinya, yaitu pergi sendirian di negeri orang, rasa cemas akan janji untuk berangkat pagi-pagi dengan salah satu dosen MSU pun menjadi salah satu alasannya. Cemas jika kesiangan!
Sangat sulit bagiku untuk memejamkan mata malam itu. Selain karena teman sekamarku yang masih sibuk dengan urusan thesisnya, bayangan akan hal yang terjadi esok hari pun masih belum berdamai. Alhasil, aku terlelap lewat larut malam dan bangun pukul 04.30. Dengan keadaan mataku yang perih dan kepala pusing, aku melakukan rutinitas di pagi hari hingga tepat pukul 06.00 aku telah siap dan bergegas keluar asrama untuk menunggu dosenku. Dan seperti sebelum-sebelumnya, beliau terlambat. Aku lapang dada. "Tak apa, dalam kondisi yang bagaimanapun dosen 'selalu benar'".
Paspor dan tiket bus Khon Kaen-Vientine
Singkat cerita, berangkatlah kami menuju terminal bus di provinsi Khon Kaen. Perjalanan hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Setibanya di terminal, dosenku mengantarkanku ke loket pembelian tiket. Setelah mengeluarkan paspor dan membayar 185 baht, aku mendapatkan tiket bus menuju Vientine, Laos. Dosenku menggiringku ke tempat menunggu bus menuju Vientine. Ia berkata bahwa bus akan tiba pukul 8. Itu berarti kurang lebih 30 menit aku harus menunggu. Setelah selfie untuk laporan kepada rekan dosenku yang akan menjemputku di Vientine, beliau pergi menuju bandara Khon Kaen untuk pergi ke Filipina guna mengikuti konfrensi internasional selama satu minggu. Dengan begitu, sudah dapat dipastikan aku akan kembali dari Laos ke Thailand sendirian! Dan sendirian pula-lah aku menunggu bus di terminal Khon Kaen. *masih dengan perasaan cemas namun sedikit lega.

Tempatku menunggu bus.
Tepat  pukul 8 bus pun datang. Setelah mengambil gambar plat nomor bus menggunakan kamera ponselku--guna mengingatnya saat usai mengurus ijin masuk Laos--, aku pun segera naik ke bus sambil melihat orang -orang disekitarku. Aku mengikuti apa yang mereka lakukan. Dan yap! Ternyata aku baru tahu bahwa di tiketku tertera nomor kursi. Sayang, dosenku tak memberi tahuku. Andai tulisan di tiket berbahasa Inggris, mungkin tak terlalu parah. Ini bahasa Thailand! Jadinya jelas parah karena aku sama sekali tak mengerti -_-
Akhirnya, tak butuh waktu lama, kuketahui nomor 5 menjadi tempat dudukku. Tak ada orang disampingku, hanya di depan dan belakangku. Nyaman. *sedikit melegakan.
Sekitar pukul 11.00, setelah melewati provinsi Udonthani dan Nongkhai, bus-ku tiba di perbatasan Thailand dan Laos. Aku turun dari bus dengan membawa uang, paspor, dan kartu imigrasi. Aku tak berhenti mengingat wajah beberapa penumpang yang turut dalam satu bus bersamaku. Lagi, aku mengikuti apa yang mereka lakukan. Mereka pun mengantri. Aku pun turut serta.
Tiba giliranku. Aku serahkan paspor dan kartu imigrasi. Setelah petugas imigrasi selesai mendata identitasku, aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar. "Hanya sebegitu saja?", pikirku. Aku kehilangan beberapa orang yang sejak awal aku perhatikan. Sedikit khawatir. Aku kembali melihat sekeliling, sekiranya ada loket imigrasi yang aku lewatkan. Namun dapat aku pastikan bahwa semua proses di perbatasan ini telah selesai. Naiklah aku ke bus yang sebelumnya aku tumpangi untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Pasporku yang telah diberi cap oleh petugas imigrasi Laos.
Tak sampai 30 menit bus kembali berhenti. Kali ini nampak seperti gerbang masuk menuju negara Laos. Aku kembali turun dan mengantri. Singkat cerita aku selesai melewati loket setelah menyerahkan paspor dan formulir yang berisi identitas yang harus kita isi, seperti nama, kewarganegaraan, dan nomor paspor.. Sebelum keluar, aku membeli kartu seharga 55 baht di loket kedua. Loket ini menurutku kurang strategis penempatannya. Loket kedua berada di seberang jalan. Banyak diantara imigran yang melewatkan loket ini sehingga mereka harus kembali untuk menuju loket kedua tersebut. *aku pun salah satu diantara mereka -_-
Okay, kali ini lancar. Semua beres. Aku kembali naik ke bus. Kali ini aku harus menunggu lebih lama. Kugunakan waktu untuk melihat kondisi sekeliling dari jendela bus. Nampak antrian di toilet dan beberapa orang mencoba masuk kedalam bus-ku hanya untuk memastikan apakah bus yang aku tumpangi adalah juga bus mereka. Dan hampir semua dari mereka salah bus. Entahlah :D
Selain pemandangan banyak orang yang riuh rendah mengurusi urusan mereka masing-masing di loket dan toilet, aku juga melihat ada beberapa orang yang memanfaatkan dengan posistif kondisi tersebut. Beberapa gerai penukaran uang dan jasa sewa mobil nampak menjadi favorit pengusaha lokal. Omong-omong gerai penukaran uang, aku sama sekali tak terpikirkan untuk menukar uang dari baht (mata uang Thailand) ke kip (mata uang Laos). Sempat muncul inisiatif untuk kembali turun dari bus dan menukarkan uang di gerai yang aku lihat, namun kuurungkan niatkau karena khawatir sebentar lagi bus aku melaju. Dan hingga kini, pada akhirnya aku tahu bahwa keputusan yang telah aku buat adalah yang paling tepat. Aku tak membutuhkan hal tersebut. Kebutuhanku di Laos dapat aku penuhi tanpa harus menukarkan uang. Selain karena tak perlu membeli kebutuhan makan, saat hendak membeli oleh-oleh pun banyak pedagang yang menerima mata uang Thailand. Selebihnya untuk jajan saat jalan-jalan... aku ditraktir. Alhamdulillah...
Sekita pukul 13.30 aku tiba di bus terminal Vientine, Laos. Suasananya tak jauh berbeda dengan bus terminal yang umunya ada di Indonesia. Namun pemandangan khas Laos yang terlihat dari tulisan-tulisan pada papan iklan menjadi satu hal yang paling membedakan. Ketika aku hendak turun dari bus, sejumlah orang yang aku tebak mereka adalah supir Song Theo (angkutan umum khas Thailand dan Laos) menatap wajahku dan berusaha mengajakku menaiki kendaraan mereka. Aku yang sudah jelas akan dijemput oleh rekan dosenku tentu hanya bisa menggelengkan kepala dan terus melangkahkan kaki menuju sebagai pertanda bahwa aku menolak tawaran mereka. Dan tentu saja mereka berbicara dalam bahasa Laos yang tidak aku mengerti.
Ajarn Fa ternyata mengambil gambarku
saat aku berbalik arah. *Jangan salah fokus! :D
Sekejap aku merasa bingung harus menemukan rekan dosenku berada dimana. Aku belum memiliki kartu SIM Laos untuk ponselku. Untuk beberapa saat aku berusaha mencari tempat duduk dan berharap rekan dosenku dapat menemukanku, namun nihil karena tempat duduk yang aku hampiri penuh. Tak sampai satu menit aku berdiri, inisiatif muncul untuk berbalik arah dan mencari penjual kartu SIM atau tempat penukaran uang. Namun usaha itu adalah usaha yang sia-sia dan berakhir menyenangkan karena tak berapa lama setelah aku berbalik arah dan berjalan beberapa langkah, kudengar suara wanita memanggil namaku. Aku pun berbalik dan mengenali wajahnya yang dua hari sebelumnya kulihat melalui facebook. Aku menyambutnya dengan pelukan.
Basa-basi untuk saling menanyakan kabar telah selesai, kami berjalan menuju tempat parkir. Kami sempat berhenti sejenak untuk membeli air mineral dan camilan. Kulihat peluhnya bercucuran. Sangat panas memang Laos ini. Macam Thailand saja. Namun aku tetap teduh dengan hijabku. *senyum manis plus wajah polos :D
Malam selepas kedatanganku, Ajarn Fa menjamuku untuk makan malam di restoran halal India. Roti Cane, kari domba, dan mie goreng ayam adalah menu yang dipesan olehku dan Ajarn Fa. Selepas makan malam, Ajarn Fa mengajakku berjalan menyusuri pasar malam di sepanjang tepian sungai Mekong. Beberapa buah souvenir aku beli. Diantaranya gantungan kunci bertuliskan "Laos" yang akan aku berikan pada teman-teman muslimku di asrama. Kembali ke rumah Ajarn Fa kemudian beristirahat menjadi penutup malamku hari itu.
Aku lupa alasanku pada saat itu kenapa menutup hidung dengan satu jari -_-
Senin. 18 Juli 2016
Kuperkenalkan ia adalah Ajarn Fa. Seorang wanita yang kulihat selalu ceria, ramah, dan baik hati. Sungguh beruntung bertemu dengan beliau. Pendidikan menjadi satu bidang yang ia tekuni secara serius. Ia memiliki sekolah TK dan SD di rumahnya. Lagi-lagi aku merasa sangat beruntung. Selain bisa tinggal sementara di Laos tanpa mengeluarkan biaya, aku mendapatkan bonus untuk melihat secara langsung kegiatan TK di negara Laos. Ya semacam observasi tanpa terencana-lah.
Di sekolah TK milik Ajarn Fa, aku berkenalan dengan hampir semua guru dan staff. Namun hanya ada satu orang staff yang intens berkomunikasi denganku. Beliau cukup fasih berbahasa Inggris. Memberi makanan menjadi hal favorit yang ia lakukan padaku. Namanya Ajarn Bouavanh (baca: Buaran). Di hari pertama kami bertemu, beliau memberiku roti khas Laos yang sangat aku sukai. Sayang, aku tak berkesempatan untuk membeli roti tersebut untuk dibawa ke Thailand. Oiya, tak hanya roti, beliau memberiku bekal buah-buahan yang dibawanya. Dalam hati merasa sedikit tak enak, tapi akan lebih tak enak lagi bila aku menolak pemberiannya. Jadilah roti, mangga, dan anggur beliau berikan padaku.
Murid TK di sekolah milik Ajarn Fa
Hari itu aku berencana untuk menemui teman sekamarku di Mahasarakham yang berasal dari Laos. Aku biasa memanggilanya "ma Tong" atau "mama" saja. Ajarn Fa turut membantuku untuk bisa bertemu ma Tong. Dan Ajarn Bouavanh -lah yang ditugaskan Ajarn Fa untuk mengantarku ke terminal bus untuk bisa menemui ma Tong. Tapi rencana tersebut berubah. Ajarn Bouavanh menghubungi suaminya. Jadilah aku diantar oleh suaminya untuk bertemu dengan ma Tong yang saat itu berada di sekolah TK demonstrasi di universitas Dongdhok, Vientine. Ajarn Bouavanh  sempat berujar, "my husband will accompany you to Dongdhok University. He have old car. Old man drive old car. Its okay for you?". Aku hanya bisa tertawa mendengar leluconnya. Jelas bagiku tak masalah. Dengan bisa diantar gratis oleh mobil miliknya saja aku sudah sangat senang dan berterima kasih.
Singkat ceritanya lagi, sampailah aku di tempat temanku. Ternyata hanya butuh waktu 15-20 menit untuk menuju universitas Dongdhok dari kediaman Ajarn Fa yang entah apa nama distriknya, aku lupa. Pelukan hangat kembali mengawali pertemuanku dengan ma Tong. Kami berdua berjalan menuju ruangan ma Tong. Kulihat suasana bangunan tua nampak teduh diantara rimbunnya rumput dan pepohonan. Ma Tong sempat meminta maaf karena ia belum sempat memangkas rumput liar yang tumbuh kian meninggi. Aku bilang "tak apa". Tersirat sudah bahwa ma Tong adalah salah satu orang penting di sekolah TK tersebut.
Kao, teman kecil dari Laos.
Setelah bercakap-cakap barang sebentar di ruang kerja ma Tong, aku putuskan untuk melihat sekeliling lingkungan sekolah. Alasan lainnya adalah karena aku melihat ma Tong sibuk dengan tugas-tugas pekerjaannya. Niat hati tak ingin mengganggu pekerjannya pun berjalan mulus. Ketika keluar ruangan, aku melihat seorang anak kecil, tebakanku ia berusia anak kelas 4 SD. Aku memberanikan diri untuk melempar senyuman. Ia pun membalas. Kulihat ia bermain ayunan. Aku pun meneruskan langkah kaki menuju ayunan lain. Namun bentuk ayunan yang aku duduki tak nyaman. Kuputuskan untuk kembali menghampiri anak kecil tadi. Kembali senyum dan mencoba bertanya namanya dalam bahasa Inggris menjadi awal percakapanku dengannya.
Akhirnya aku duduk bersamanya di ayunan. Sangat menyenangkan meski kami kesulitan berkomunikasi karena terkendala bahasa. Ia hanya bisa bahasa Laos dan aku hanya bisa bahasa qalbu. eaaaa
Kami bersusah payah untuk dapat berkomunikasi. Beberapa cara kami lakukan, yaitu dengan membuat gambar, ekspresi wajah dan gerakan anggota badan seperti gelengan kepala dan lambaian tangan. Lucu memang, namun mengesankan. Bahkan ia nampak antusias untuk menanyakan kosakata dalam bahasa Inggris untuk nama-nama binatang dan benda-benda disekitarnya. Dari pembicaraan yang kami lakukan dengan susah payah akhirnya aku juga mengetehaui bahwa namanya Kao yang dalam bahasa Thailand dan juga Laos artinya "sembilan". Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa segera pulang kerumah karena ibunya pergi ke suatu tempat dengan membawa kunci rumah dan baru akan kembali pukul satu siang.
Aku segera bertanya padanya apakah ia lapar. Ia pun mengiyakan. Teringat bekal roti dan buah-buahan yang aku dapatkan dari Ajarn Bouavanh, susay payah aku segera menerangkan bahwa aku akan masuk ke ruangan untuk mengambil tasku. Aku berujar padanya untuk tetap duduk menunggu. Iya pun mengerti. Tak berapa lama dua botol kecil air mineral dan bekalku kubawa keluar. Kuberi roti dan air mineral padanya sama rata. Tak lupa buah-buahan yang kubawa turut serta. Kami menikmati santapan ringan itu bersama-sama.
Tak berapa lama setelah selesai makan, ma Tong keluar dari ruang kerjanya dengan membawa tasku. Akhirnya aku harus berpisah dengan Kao. Aku melambaikan tangan tanda perpisahan. Kao pun tersenyum. Aku dan ma Tong berjalan menuju tempat parkir. Baru ku tahu bahwa ma Tong pandai menyetir mobil. Kami berangkat menuju rumah ma Tong. Jalan yang tak cukup bagus kami lewati. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, kami pun sampai. Kedatanganku ke rumah ma Tong disambut oleh ibunya ma Tong dan dua anjing milik ma Tong. Sungguh aku dibuat terkejut dengan kehadiran dua hewan peliharaan ma Tong itu. Bukan hanya karena takut terkena najis dari air liurnya, namun karena pada dasarnya memang aku takut anjing.
Berhubung saat itu memasuki waktu dzuhur, aku pun mengambil wudhu dan meminta izin untuk melaksanakan shalat dzuhur. Ma Tong menyiapkan tempat untukku. Duh dalam hati sempat tak yakin akan kesucian tempat tersebut karena ada anjing. Ma Tong memang telah menyapu ruangan tersebut. Apa daya tak ada tempat lain, kugelar sajadah dan shalat-lah aku di ruang tamu ma Tong.
Dari kiri ke kanan: aku, kakak Ajarn Fa, saudara
Ajarn Fa dari Jepang, ibu Ajarn Fa,paman Ajarn Fa,
sepupu 
Ajarn Fa dari Thailand.
Selepas shalat dzuhur, kami bergegas pergi untuk makan siang kemudian pergi ke education ministry. Rasa kantuk mulai datang. Aku harus bersabar menunggu ma Tong hingga urusannya selesai. Dan setelah kurang lebih satu jam setengah, kami pun pulang. Ma Tong mengantarku menuju rumah Ajarn Fa. Lucunya kami sempat tersesat karena sama-sama belum hafal jalan. Setelah berhasil menemukan rumah Ajarn Fa, ma Tong turut ikut denganku untuk menemui Ajarn Fa. Mereka berbincang hangat dan kulihat mereka bertukar nomor telepon. Maklum, sama-sama penggiat sekolah TK. Tak lama, ma Tong pun pulang. Berpisahlah kami, dan mungkin itu adalah pertemuan terakhirku dengan ma Tong.
Selepas mengantar ma Tong hingga pintu gerbang, aku ijin untuk melaksanakan shalat ashar. Ajarn Fa pun mengiyakan. Hari itu ditutup dengan makan malam di restoran Jepang bersama keluarga Ajarn Fa yang berasal dari Jepang dan Thailand.

bersambung....


Jumat, 15 Juli 2016

NEGARA KEDUA BAGI SI PEMIMPI

Sore itu hujan turun dengan derasnya menemani seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang internship di Thailand dan masih jomblo serta hatinya dirundung galau. Sendiri, sepi, pecahkan saja celengannya! -_-
Ia galau bukan karena memikirkan sang mantan kekasih yang sudah punya pacar lagi atau pun jodoh yang masih dirahasiakan Alloh. Bukan juga galau karena menahan rasa rindu pada keluarga yang sudah enam bulan tak ia jumpai. Apalagi karena PPL, skripsi, dan ujian sidang yang belum ia selesaikan, bukan! 
Masalah perpanjangan visa yang harus ia lakukan seorang diri-lah yang membuatnya galau. Bukan ke kantor imigrasi seperti bulan lalu yang ia lakukan. Bukan dengan menghabiskan 1900 Baht lagi, bukan!
Tapi kini kali kedua dimana ia harus memperpanjang visa dengan cara "alternatif". Ya, cara yang ia dapatkan atas petunjuk dari salah satu dosen yang ia kenal di universitas tempatnya melakukan internship. Cara yang disinyalir lebih murah dibanding saban waktu yang lalu, NAMUN tidak efektif. -_-
"Bagaimana bisa? Jika murah, sudah pasti efektif!"
Iya, efektif dari segi biaya. Tapi tidak efektif bagi mental si jomblo yang juga si pemimpi ini. Bayangkan! Si pemimpi ini harus bersyukur dan sekaligus bersedih karena ia akan pergi ke negara Laos sendirian! Menyeramkan bukan?
"Apa!"
"Tidak menyeramkan?"
"Baiklah..."
-_-
Beberapa waktu yang lalu si pemimpi ini menulis kisah terkait biaya yang harus ia keluarkan sebanyak 1900 Baht hanya untuk selembar visa yang tidak sampai 1 bulan masa berlakunya. Kini tak terasa masa berlaku visa itu akan segera habis. Surat keterangan dari universitas bahwa ia akan memperpanjang masa internship-nya atas permintaan her lovely advicer-nya pun tak jua bisa diselesaikan oleh pihak IR office universitas karena meeting dengan the dien yang baru akan dilakukan tanggal 28 Juli mendatang. Wah keburu dideportasi dan didenda si jomblo ini! Belum lagi uang sakunya yang semakin menipis.
Ia berusaha untuk tak mengeluh.
"Lah ini apa? Bagian dari mengungkapkan keluh kesah bukan?"
Bukan! Ini hanyalah usahanya untuk berbagi cerita dan mencatat setiap momen dalam hidupnya.
"Oke lanjut!"
Deskripsi dari cara alternatif yang ia dapatkan adalah sebagai berikut"
  • Tanggal 17 Juli ia akan diantar oleh salah satu dosen ke terminal bus di Khon Kaen
  • Kemudian ia akan berangkat dengan bus yang memerlukan biaya 180 baht menuju Vientine, Laos
  • Setibanya di Laos border, ia harus memproses ijin masuk sebagai tourist ke negara Laos  dengan biaya sebesar 40 baht
  • Setelah selesai memproses ijin tersebut, ia akan mendapatkan kartu untuk kemudian melanjutkan perjalan dengan bus yang sebelumnya ia tumpangi
  • Perjalanan akan ia lanjutkan menuju rumah salah satu murid dosennya tersebut, beliau akan menjemputnya dari tempat permberhentian bus di Vientine
  • Hingga tanggal 19 Juli ia akan tinggal di rumah murid dosennya itu
  • Dan pada 20 Juli nanti ia akan kembali ke Thailand dengan membawa ijin masuk atau visa untuk tinggal di Thailand hingga 1 Agustus nanti
"Bagaimana?" 
Jujur, ia sendiri menjawab "I'm not sure" pada dosennya ketika dosennya tersebut menanyakan "do you wanna do it? are you okey?". Tapi kembali ia sambung bahwa "but I must do it". Dosennya pun tertawa dan mengatakan "okay".
Sebagai manusia biasa, ia juga sempat merasa takut dan khawatir. Namun ia selalu mencoba untuk bersabar. "Ketika masalah datang, Alloh tidak meminta kita memikirkan jalan keluar sehingga penat. Alloh hanya meminta kita sabar dan sholat". Itulah nasihat yang selalu ia coba lakukan. Dan kemudahan demi kemudahan datang menghampiri si jomblo yang ngga ngenes ini. Kini ia mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang dari awal membuatnya gundah. Masalah uang saku yang menipis pun tak lagi jadi kendala.
"Karena apa?"
Karena setelah lama ia berpikir bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan tambahan uang guna 'jaga-jaga' adalah dengan meminjam uang kepada kawannya, ternyata itu bukanlah satu-satunya jalan keluar! Benar memang si jomblo ini akhirnya dapat dengan mudah diberi pinjaman uang oleh temannya sebesar 500 baht, namun siapa sangka rejeki yang Alloh berikan datangnya dari arah yang tak pernah dapat diduga.
Seorang room mate-nya hari ini berhasil mengumpulkan tugas akhir alias thesis setelah kurang lebih empat tahun menjalani program master. Si jomblo pun ikut andil meski hanya dalam mengarahkan cara-cara menggunakan page number, membuat content, dan hal-hal kecil lainnya seperti menyiapkan sarapan bagi sang room mate yang terlihat sangat lelah karena begadang hampir setiap malam. Singkat cerita, sang room mate mungkin merasa berterima kasih dan ingin membagi rasa bahagianya, setelah mengabarkan bahwa thesisnya diterima, ia mengeluarkan uang 1000 baht dan memberikannya pada si jomblo! Alamak apalagi itu? Terbayangkan atau tidak sebelumnya, tapi kini ia pun tanpa disadari mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negara lain! Setelah Thailand, kini Laos akan menjadi negara kedua bagi "si pemimpi".

Mahasarakham, 15 Juli 2016


Rabu, 13 Juli 2016

"Duh, males!"

Selamat siang. Hari yang mendung untuk jiwa yang cerah^^
Iya, di Mahasarakham kini mulai memasuki musim hujan. Sejuk, damai, nan kelabu karena awan yang rutin menemani langit. Aku bersyukur diberi momen penuh berkah untuk berdoa. Namun disela-sela hari yang semakin cepat berganti menghapimpiri waktu kepulanganku ke Indonesia, aku diserbu rasa malas untuk menyusun laporan. Kini, sementara dosen pembimbingku sedang ke Jepang untuk konfrensi Internasional, aku bertekad untuk menyelesaikan laporan sebelum dosen pembimbingku kembali ke Thailand pada tanggal 20 Juli nanti.
Salah satu bad habit yang aku miliki selain tidak disiplin adalah pemalas. Jika dilain waktu aku bisa sangat rajin menyelesaikan semua tugas-tugas yang harus aku kerjakan, namun tak jarang aku bisa menjadi sangat malas untuk beraktivitas. Alasan yang sering aku kemukakan pada diriku sendiri adalah karena galau, rindu rumah, terlalu lelah, bosan, dan merada "semua akan selesai pada waktunya, jadi tugas-tugas itu bisa aku kerjakan nanti". Ckck. Parah kan ya?
Dari semua bad habit yang aku miliki itu bukan berarti aku terus berlarut tanpa memikirkan solusinya, setiap waktu aku selalu berusaha untuk membunuh rasa malas dengan memunculkan motivasi pada diriku sendiri. Untuk masalah disiplin, itu lebih sulit lagi, karena aku terbiasa hidup flexible. Haha alasan saja ya!
Huft untuk tugas laporan ini aku usahakan untuk menyicil setiap hari. Meskipun aku bekerja di dormitory, tidak ke perpustakaan kampus, aku tetap berusaha konsisten untuk membuat laporan setiap hari. Alasanku tidak pergi ke perpustakaan kampus adalah karena saat ini musi hujan, aku tidak tahu pada sore hari akan hujan atau tidak. Jika hujan, maka akan sulit bagiku untuk pulang ke dormitory. Kemudian suasana kampus yang sepi karena masih holiday membuatku agak sedikit parno untuk pergi ke lantai dua di salah satu gedung untuk shalat setiap waktu dzuhur dan ashar tiba. Lalu jika aku pergi ke kampus, cucianku akan semakin banyak karena ditambah oleh pakaian-pakaian yang aku gunakan untuk pergi ke kampus. Dan lebih nyaman di dormitory untuk urusan pribadi akan lebih mudah terpenuhi, misal aku bisa langsung tidur siang ketika mengantuk. Haha
Udah ah tambah ngaco! See ya'

Kamis, 07 Juli 2016

Teringat Rumus "Ikhlas" di Hari Nan-Fitri

Tak banyak rekan-rekanku di kampus MSU yang tahu bahwa kemarin aku merayakan Hari Raya Idul Fitri. Ya, karena mereka beragama Budha. Sampai akhirnya dosen pembimbingku menghubungiku untuk membahasa visa. Itu membuatku susah tidur.

Aku berpikir tentang beberapa kemungkinan yang terjadi. Salah satunya adalah jadwal penerbangan yang telah aku beli untuk pulang ke Indonesia harus rebooking. Seketika badanku lemas. Tapi disisi lain aku merasa bahagia karena artinya aku bisa pulang lebih cepat ke Indonesia untuk kemudian mengurus kontrak kuliah sebelum masa kontrak habis.

Hal buruk lainnya yang aku pikirkan adalah mengenai biaya dan prosedur perubahan jadwal penerbangan. Biaya yang tak sedikit dan prosedur yang sebelumnya belum pernah aku lakukan. Khawatir sudah pasti. Namun sekali lagi aku teringat "rumus" ikhlas.

Alhamdulillah hati dan pikiranku jauh lebih tenang. Aku pasrahkan semuanya pada Alloh. Aku yakin semua masalah yang sedang aku hadapi akan bertemu dengan solusinya masing-masing, tepat pada waktunya. Masalah yang diawali dengan permintaan dosen pembimbingku agar aku stay lebih lama di Thailand hingga akhir Juli, tiket yang sudah aku beli, pihak IR office yang tidak bisa segera memberikanku surat keterangan untuk tinggal di Thailand lebih lama, dan tentunya masalah biaya.

Aku teringat salah satu nasehat yang mengatakan bahwa, "jangan meminta solusi terlebih dahulu pada Alloh  ketika kita mendapat masalah, tapi bertaubat dahulu kepada Alloh. Karena siapa tahu masalah tersebut timbul karena dosa yang pernah kita lakukan." Astagfirullah...

Selasa, 05 Juli 2016

Eid Mubarak 1437 H

Alhamdulillah, hari ini masih diberi kesempatan untuk menikmati hari raya Idul Fitri 1437 H. Hanya doa yang bisa aku panjatkan dari kejauhan untuk keluargaku, guru-guru, teman, dan... *sudahlah. Haha. Pagi-pagi Alloh menambah keberkahan di Mahasarakham, yaitu hujan. Momen dimana doa-doa mustajab untuk dikabulkan. Aku hanya berharap kehidupan muslim di dunia diberi keberkahan dan hidayah. Semoga Alloh mengampuni dosa-dosa di hari nan fitri ini.
Sedih sudah pasti. Hanya gema takbir yang bisa kudengar dari youtube. Tak ada makanan Indonesia khas lebaran, apalagi kue-kue. Hanya kebersamaan dengan teman-teman muslim dalam satu asrama yang sangat beruntung bisa kurasakan. Semalam kami buka puasa bersama. Tak ada riuh pawai takbiran. Momen malam hari raya ini hanya kami buat sederhana. Selepas isya kami pergi bersama ke sebuah milk caffe. Tak sampai pukul 11 malam kami sudah pulang ke asrama. Aku masih bersyukur jika dibandingkan salah satu temanku disini. Jika esok aku harus segera kembali ke kampus untuk mengikuti workshop, temanku itu siang ini malah harus mengikuti kuliah. Harusnya pagi pun ia sudah berangkat, namun ia ijin untuk mengikuti shalat Ied di salah satu masjid di Mahasarakham. Ya, tak ada libur nasional untuk kaum muslim di Thailand. Inilah kehidupan minoritas muslim yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sekali lagi selamat hari raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir batin. Selamat mendapat pertanyaan "kapan nikah?", "udah ada calon belum?", "kapan nyusul?", dll, yaaa. Haha. Jangan mengira aku tak mendapatkan pertanyaan seperti itu meskipun tak berlebaran di Indonesia. Teman dekatku ternyata masih berani menanyakan pertanyaan sakral itu padaku via facebook! Hadeuh. Tenang, tahun depan inshaa Alloh aku berlebaran dengan misua. 
"Yakin, Yen? Jodohnya udah ada?".
-_-

Mahasarakham, 1 Syawal 1437 H
ditulis saat rindu ini semakin menggebu, emaaaaa

Senin, 04 Juli 2016

Menanti Idul Fitri


Tak terasa hampir sebulan penuh kita bersama bulan Ramadhan. Jika kemarin sidang Isbat telah digelar di Indonesia dengan keputusan 1 Syawal 1437 H jatuh pada hari Rabu, 6 Juli 2016, berbeda halnya dengan disini, di Thailand. Kemungkinan sidang Isbat baru akan digelar petang ini. Sebenarnya aku sangat berharap dapat merayakan Idul Fitri pada tanggal 6 Juli, besok. Karena alasan di tanggal 7-nya aku harus mengikuti workshop di Old Campus MSU. Anjuran mengikuti workshop datang dari dosen pembimbingku disini, jadi tidak mungkin aku tolak. Dan memang itu event dimana aku bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman baru.
Tapi, disisi lain aku ingin menghabiskan waktu perayaan hari raya bersama teman-teman muslim dengan mengikuti Shalat Ied bersama di salah satu masjid Mahasarakham. Tahun ini adalah kali pertama aku merayakan Idul Fitri di luar negri, jauh dari keluarga. Jadi, sering terbersit dalam benakku "masa sudah dijauhkan dari keluarga dan kampung halaman, untuk bisa shalat Ied di masjid Mahasarakham saja tidak berkesempatan?". Ya, sekali lagi itu hanya hal manusiawi yang  sesekali sering terbersit dalam pikiranku.
Jujur, hatiku selalu bergetar ketika mendengar alunan takbir. Aku langsung teringat pada suasana keluarga di Kuningan yang penuh kehangatan. Tak jarang pula aku merenung dan berkata dalam hati "Ya Alloh, mana pernah terpikirkan saat Idul Fitri tahun lalu bahwa tahun berikutnya aku akan merayakan Idul Fitri di luar negri, di Thailand...". Tapi Alloh Sang Maha Perencana. Hanya doa yang bisa aku panjatkan agar tahun depan aku memiliki kesempatan untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman. Aamiin

Mahasarakham, 5 Juli 2016
ditulis saat musim panas hendak meninggalkan Thailand

Jumat, 01 Juli 2016

Aku Ingin Berubah


Entah aku harus menyebutnya apa, seorang laki-laki yang merupakan cucu dari adik nenekku. Sepupu? Ah, aku tak begitu yakin dengan sebutan itu! Intinya kami berdua bersaudara. Tapi, selama hidup kami, hanya dua kali aku bertemu dan berbincang dengannya, sekedarnya. Itupun tanpa sengaja saat aku berkunjung ke rumah neneknya, yang sudah kubilang, adik dari nenekku, dan dipinggir jalan saat ia akan berangkat ke Bogor. Saat itu ia dan aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Namun, perbedaan kami cukup mencolok. Ia yang kabarnya kudengar sudah hafal 30 juz Al Qur'an dan sekolah dengan biaya beasiswa, sedangkan aku? Saat itu memakai kerudung saja masih "bongkar-pasang". Beasiswa? Dapat peringkat satu saja aku tak dapat reward apapun dari sekolah. Hiks. Bukannya aku bermaksud ingin mendapatkan hadiah dari sekolah, tapi maksudku sangat tidak mungkin aku mendapatkan beasiswa pada saat itu dikarenakan kebijakan-kebijakan sekolah yang, ya begitulah.
Kami berdua sekolah di sekolah yang berbeda. Ia sekolah di salah satu sekolah Islam terpadu yang cukup terkenal di kota Kuningan. Sedangkan aku harus masuk pilihan kedua karena gagal seleksi di SMA favorit. Tak apa, aku berlapang dada. Dan mungkin itulah yang terbaik. Karena pada tahun pertama aku duduk di bangku SMA, aku mendapatkan peringkat pertama.
Lepas SMA, ia kudengar kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri terkenal di Bogor. Sedangkan aku kuliah di perguruan tinggi negeri kampus daerah (ya kalian sudah tahu-lah dari cerita-ceritaku sebelumnya, jika kalian membaca). Dari situ, aku kurang mengetahui kabar dia mendapatkan beasiswa atau tidak. Tapi dari informasi yang aku dapatkan ketika berkunjung ke rumahnya dalam rangka mengantar ibuku untuk bersilaturahmi dengan ibunya (ibuku dan ibunya berpredikat sebagai sepupu), ia terkadang meminta dikirimi uang, dan terkadang ia pun mengirimkan uang untuk ibunya. Dari saat itu, sedikit banyak aku menjadikannya sebagai role mode dalam hidupku. Serius! Aku melakukan hal yang sama. Saat semester 4 aku sempat berbisnis dan aku mengirimkan uang untuk nenekku (karena pada saat itu ibuku masih bekerja). Namun ketika ada keperluan mendadak, aku meminta uang pada ibu dan bapakku. Haha.
Kesempatan berkunjung ke rumahnya tak hanya sekali, namun beberapa kali, dan semuanya dalam rangka silaturahmi. Aku selalu kagum pada ibuku, karena ia yang selalu menanggapi positif jika aku memberi saran untuk menjaga silaturahmi dengan saudara. Jika tujuan utama ibuku adalah bertemu dengan sepupunya, tujuan utamaku adalah mengorek informasi tentang "dia". Saat itu aku mendengar bahwa ia sudah ke luar negeri, bukan lagi satu negara, tapi hampir negara-negara ASEAN sudah ia kunjungi. Aku "panas", "meradang". Lanjut lagi aku dengar bahwa ia menjadi ketua BEM. Aku balas memanasi ibunya (padahal sebetulnya diriku sendiri yang "panas"), aku berkata pada ibuku dengan tujuan untuk disampaikan pada ibunya bahwa aku menjadi ketua organisasi program studi di kampusku, sama-sama ketua hanya beda level saja. Jelas, tak ada efek apa-apa bagi ibunya. Aaarrrghhh.
Ada hal lucu disela-sela kunjungan itu. Ketika ibunya ke dapur untuk mempersiapkan minuman, aku berkata pada ibuku, "tuh, dia udah ke luar negeri, masa aku ngga boleh ke luar negeri?!". 
"Nya mun dua atawa tilu bulan mah teu nanaon, ari sampe lila mah da kumaha watir mamahna", sahut ibuku padaku. Artinya, "ya kalau dua atau tiga bulan sih tak apa, kalau lama, ya gimana, mamah khawatir."
Sejak saat itu doa ibuku seakan terkabul. Aku mendapatkan beasiswa magang di Universitas Mahasarakham, Thailand, selama 4 bulan. Program yang aku ikuti memang persyaratannya harus mengajukan rancangan kegiatan yang durasi waktunya tidak boleh kurang dari 3 bulan dan tidak boleh lebih dari 5 bulan.
Informasi selanjutnya adalah: dia sudah pernah ke Kampung Inggris! Heuh aku tambah panas. Dalam hati hanya berpikir "kok bisa-bisanya dia diem-diem (emang dia diem gak pernah ngomong sama aku -_- ) tapi tahu-tahu udah pernah belajar ke Kampung Inggris?! Aku yang sudah lama ingin belajar disana malah hingga waktu itu belum kesampean!". Dari situ aku berkata lagi pada ibuku, "tuh, Mah. Masa si *iki bisa ke Kampung Inggris kenapa aku ngga bisa?".
"atuh da si *iki mah lalaki, teu watir" (Kan si *iki laki-laki, jadi ngga khawatir), jawab ibuku. Dari situ aku hanya diam. Hingga pada akhirnya bulan Agustus 2015 keinginanku untuk belajar di Kampus Inggris terwujud.
Ya, seakan saudaraku itu menjadi "patokan" bagiku untuk mengejar suatu prestasi. Kehadirannya sangat berdampak positif bagiku. Namun sayang, undangan facebook dariku tak ia konfirmasi. Dan ketika aku mencari namanya di twitter dan instagram, aku hanya bisa stalking dan menautkan ekspresi kagum di depan layar laptop ketika melihat apa yang ia posting. Aku tak ingin mem-follow-nya, karena aku tahu ia tak akan merespon.
Ada satu kabar yang membuatku bahagia ketika suatu waktu aku berkunjung ke rumahnya. Ibunya mengatakan bahwa *iki menanyakan kabarku (bagaimana aku sekarang, ada dimana, kuliah dimana). Jelas aku bahagia! Saudara yang sangat pendiam dan tak pernah mencoba ingin bersilaturahmi denganku, diam-diam menanyakanku! Haha. 
Entah iya atau tidak, ia menjadi panutanku. Aku ingin terus berubah menjadi lebih baik agar sepertinya, hmm minimal istiqomah-nya seperti dia, atau prestasinya. Ia inspirasi bagiku yang hanya seorang remaja labil, yang masih sering menuruti hawa nafsu. Hmm yakin masih remaja labil? Udah mau 23 tahun loh nanti bulan Agustus! Ckck.
Bismillah ya Rabb... kuatkan hatiku ini, dan limpahkan hidayah padaku selalu. Aamiin...

Mahasarakham, 2 Juli 2016

Hari Terakhir bertemu Afew

Abang Afew.
Afew adalah nama panggilan dari salah satu siswa Satit Demonstration School of Mahasarakham University (Satit DMSU). Ia yang sejak awal sangat ramah dan bertingkah menggemaskan bila bertemu denganku. Aku menyayangi semua murid-murid di kelas 2/3 Satit DMSU, tapi Afew adalah salah satu anak yang meninggalkan kesan paling manis selama aku menjalani observasi di kelas itu. Ia yang baru kemarin berani mengucapkan "good bye, Phi Yena" ketika aku hendak pulang ke asrama. Karenanya juga aku merasakan kehilangan ketika ia harus pergi ke elementary school untuk latihan persiapan menjadi suporter seminggu terakhir ini.

Setelah Abang Afew latihan dan menunggu dijemput orang tuanya.
Serangkaian observasi yang aku lakukan mulai dari tanggal 6 Juni benar-benar tak terasa, semua berlalu begitu cepat. Kegiatan yang awalnya sangat berat aku jalani karena dalam keadaan berpuasa, namun seiring berjalannya waktu aku mulai menyayangi mereka. Selalu seperti itu, aku kembali bertemu dengan perpisahan. Baru beberapa bulan yang lalu aku harus berpisah dengan anak-anak TK Aisyiah 1 Kota Serang, tempatku melaksanakan PPL. Kini, aku kembali harus berpisah dengan anak-anak Satit DMSU. Namu aku sadari bahwa semua harus berlalu, kehidupanku dan kehidupan mereka masih harus berlanjut. 
Jujur, air mataku tak tertahankan bila harus mengingat momen-momen kebersamaanku dengan anak-anak Satit DMSU yang sangat pintar dan lucu. Mungkin ini juga yang akan terjadi ketika aku selesai menjalankan penelitian dan harus kembali ke Indonesia. Aku benar-benar harus menyiapkan diri menerima kenyataan bahwa semua hal pasti ada masanya harus bersama, begitu pula sebaliknya.
Sungguh orang-orang disekitarku saat ini begitu peduli padaku. Mereka tak memandang perbedaan dan tampilanku sebagai muslimah yang merupakan minoritas ditengah-tengah mereka.
Setelah ini, aku harus lebih semangat untuk menyusun laporan, menyelesaikan semua urusan termasuk visa (haaaah lagi-lagi masalah administrasi), dan bersabar menanti kepulanganku ke Indonesia. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Skripsi, PPL, dan amanah di KAMMI merupakan sebagian PR-ku yang sudah lama menanti. Hanya harapan yang terus aku tujukan pada Afew dan semua orang yang telah menjadi keluargaku disini, semoga mereka bahagia dan bermanfaat bagi sesama.
Mahasarakham, 1 Juli 2016
ditulis saat gemercik air hujan jatuh membasahi halaman asrama.


Foto-foto kenangan di SATIT DMSU: