"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar Rahman: 13)
Minggu, 17 Juli 2016
Hanya rasa cemas yang menemaniku sepanjang malam hingga pagi sebelum keberangkatanku ke Laos. Selain cemas akan hal yang akan aku lakukan untuk pertama kalinya, yaitu pergi sendirian di negeri orang, rasa cemas akan janji untuk berangkat pagi-pagi dengan salah satu dosen MSU pun menjadi salah satu alasannya. Cemas jika kesiangan!
Sangat sulit bagiku untuk memejamkan mata malam itu. Selain karena teman sekamarku yang masih sibuk dengan urusan thesisnya, bayangan akan hal yang terjadi esok hari pun masih belum berdamai. Alhasil, aku terlelap lewat larut malam dan bangun pukul 04.30. Dengan keadaan mataku yang perih dan kepala pusing, aku melakukan rutinitas di pagi hari hingga tepat pukul 06.00 aku telah siap dan bergegas keluar asrama untuk menunggu dosenku. Dan seperti sebelum-sebelumnya, beliau terlambat. Aku lapang dada. "Tak apa, dalam kondisi yang bagaimanapun dosen 'selalu benar'".
Sangat sulit bagiku untuk memejamkan mata malam itu. Selain karena teman sekamarku yang masih sibuk dengan urusan thesisnya, bayangan akan hal yang terjadi esok hari pun masih belum berdamai. Alhasil, aku terlelap lewat larut malam dan bangun pukul 04.30. Dengan keadaan mataku yang perih dan kepala pusing, aku melakukan rutinitas di pagi hari hingga tepat pukul 06.00 aku telah siap dan bergegas keluar asrama untuk menunggu dosenku. Dan seperti sebelum-sebelumnya, beliau terlambat. Aku lapang dada. "Tak apa, dalam kondisi yang bagaimanapun dosen 'selalu benar'".
Paspor dan tiket bus Khon Kaen-Vientine |
Tempatku menunggu bus. |
Akhirnya, tak butuh waktu lama, kuketahui nomor 5 menjadi tempat dudukku. Tak ada orang disampingku, hanya di depan dan belakangku. Nyaman. *sedikit melegakan.
Sekitar pukul 11.00, setelah melewati provinsi Udonthani dan Nongkhai, bus-ku tiba di perbatasan Thailand dan Laos. Aku turun dari bus dengan membawa uang, paspor, dan kartu imigrasi. Aku tak berhenti mengingat wajah beberapa penumpang yang turut dalam satu bus bersamaku. Lagi, aku mengikuti apa yang mereka lakukan. Mereka pun mengantri. Aku pun turut serta.
Tiba giliranku. Aku serahkan paspor dan kartu imigrasi. Setelah petugas imigrasi selesai mendata identitasku, aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar. "Hanya sebegitu saja?", pikirku. Aku kehilangan beberapa orang yang sejak awal aku perhatikan. Sedikit khawatir. Aku kembali melihat sekeliling, sekiranya ada loket imigrasi yang aku lewatkan. Namun dapat aku pastikan bahwa semua proses di perbatasan ini telah selesai. Naiklah aku ke bus yang sebelumnya aku tumpangi untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Tak sampai 30 menit bus kembali berhenti. Kali ini nampak seperti gerbang masuk menuju negara Laos. Aku kembali turun dan mengantri. Singkat cerita aku selesai melewati loket setelah menyerahkan paspor dan formulir yang berisi identitas yang harus kita isi, seperti nama, kewarganegaraan, dan nomor paspor.. Sebelum keluar, aku membeli kartu seharga 55 baht di loket kedua. Loket ini menurutku kurang strategis penempatannya. Loket kedua berada di seberang jalan. Banyak diantara imigran yang melewatkan loket ini sehingga mereka harus kembali untuk menuju loket kedua tersebut. *aku pun salah satu diantara mereka -_-
Okay, kali ini lancar. Semua beres. Aku kembali naik ke bus. Kali ini aku harus menunggu lebih lama. Kugunakan waktu untuk melihat kondisi sekeliling dari jendela bus. Nampak antrian di toilet dan beberapa orang mencoba masuk kedalam bus-ku hanya untuk memastikan apakah bus yang aku tumpangi adalah juga bus mereka. Dan hampir semua dari mereka salah bus. Entahlah :D
Selain pemandangan banyak orang yang riuh rendah mengurusi urusan mereka masing-masing di loket dan toilet, aku juga melihat ada beberapa orang yang memanfaatkan dengan posistif kondisi tersebut. Beberapa gerai penukaran uang dan jasa sewa mobil nampak menjadi favorit pengusaha lokal. Omong-omong gerai penukaran uang, aku sama sekali tak terpikirkan untuk menukar uang dari baht (mata uang Thailand) ke kip (mata uang Laos). Sempat muncul inisiatif untuk kembali turun dari bus dan menukarkan uang di gerai yang aku lihat, namun kuurungkan niatkau karena khawatir sebentar lagi bus aku melaju. Dan hingga kini, pada akhirnya aku tahu bahwa keputusan yang telah aku buat adalah yang paling tepat. Aku tak membutuhkan hal tersebut. Kebutuhanku di Laos dapat aku penuhi tanpa harus menukarkan uang. Selain karena tak perlu membeli kebutuhan makan, saat hendak membeli oleh-oleh pun banyak pedagang yang menerima mata uang Thailand. Selebihnya untuk jajan saat jalan-jalan... aku ditraktir. Alhamdulillah...
Sekita pukul 13.30 aku tiba di bus terminal Vientine, Laos. Suasananya tak jauh berbeda dengan bus terminal yang umunya ada di Indonesia. Namun pemandangan khas Laos yang terlihat dari tulisan-tulisan pada papan iklan menjadi satu hal yang paling membedakan. Ketika aku hendak turun dari bus, sejumlah orang yang aku tebak mereka adalah supir Song Theo (angkutan umum khas Thailand dan Laos) menatap wajahku dan berusaha mengajakku menaiki kendaraan mereka. Aku yang sudah jelas akan dijemput oleh rekan dosenku tentu hanya bisa menggelengkan kepala dan terus melangkahkan kaki menuju sebagai pertanda bahwa aku menolak tawaran mereka. Dan tentu saja mereka berbicara dalam bahasa Laos yang tidak aku mengerti.
Sekejap aku merasa bingung harus menemukan rekan dosenku berada dimana. Aku belum memiliki kartu SIM Laos untuk ponselku. Untuk beberapa saat aku berusaha mencari tempat duduk dan berharap rekan dosenku dapat menemukanku, namun nihil karena tempat duduk yang aku hampiri penuh. Tak sampai satu menit aku berdiri, inisiatif muncul untuk berbalik arah dan mencari penjual kartu SIM atau tempat penukaran uang. Namun usaha itu adalah usaha yang sia-sia dan berakhir menyenangkan karena tak berapa lama setelah aku berbalik arah dan berjalan beberapa langkah, kudengar suara wanita memanggil namaku. Aku pun berbalik dan mengenali wajahnya yang dua hari sebelumnya kulihat melalui facebook. Aku menyambutnya dengan pelukan.
Basa-basi untuk saling menanyakan kabar telah selesai, kami berjalan menuju tempat parkir. Kami sempat berhenti sejenak untuk membeli air mineral dan camilan. Kulihat peluhnya bercucuran. Sangat panas memang Laos ini. Macam Thailand saja. Namun aku tetap teduh dengan hijabku. *senyum manis plus wajah polos :D
Malam selepas kedatanganku, Ajarn Fa menjamuku untuk makan malam di restoran halal India. Roti Cane, kari domba, dan mie goreng ayam adalah menu yang dipesan olehku dan Ajarn Fa. Selepas makan malam, Ajarn Fa mengajakku berjalan menyusuri pasar malam di sepanjang tepian sungai Mekong. Beberapa buah souvenir aku beli. Diantaranya gantungan kunci bertuliskan "Laos" yang akan aku berikan pada teman-teman muslimku di asrama. Kembali ke rumah Ajarn Fa kemudian beristirahat menjadi penutup malamku hari itu.
Senin. 18 Juli 2016
Kuperkenalkan ia adalah Ajarn Fa. Seorang wanita yang kulihat selalu ceria, ramah, dan baik hati. Sungguh beruntung bertemu dengan beliau. Pendidikan menjadi satu bidang yang ia tekuni secara serius. Ia memiliki sekolah TK dan SD di rumahnya. Lagi-lagi aku merasa sangat beruntung. Selain bisa tinggal sementara di Laos tanpa mengeluarkan biaya, aku mendapatkan bonus untuk melihat secara langsung kegiatan TK di negara Laos. Ya semacam observasi tanpa terencana-lah.
Di sekolah TK milik Ajarn Fa, aku berkenalan dengan hampir semua guru dan staff. Namun hanya ada satu orang staff yang intens berkomunikasi denganku. Beliau cukup fasih berbahasa Inggris. Memberi makanan menjadi hal favorit yang ia lakukan padaku. Namanya Ajarn Bouavanh (baca: Buaran). Di hari pertama kami bertemu, beliau memberiku roti khas Laos yang sangat aku sukai. Sayang, aku tak berkesempatan untuk membeli roti tersebut untuk dibawa ke Thailand. Oiya, tak hanya roti, beliau memberiku bekal buah-buahan yang dibawanya. Dalam hati merasa sedikit tak enak, tapi akan lebih tak enak lagi bila aku menolak pemberiannya. Jadilah roti, mangga, dan anggur beliau berikan padaku.
Hari itu aku berencana untuk menemui teman sekamarku di Mahasarakham yang berasal dari Laos. Aku biasa memanggilanya "ma Tong" atau "mama" saja. Ajarn Fa turut membantuku untuk bisa bertemu ma Tong. Dan Ajarn Bouavanh -lah yang ditugaskan Ajarn Fa untuk mengantarku ke terminal bus untuk bisa menemui ma Tong. Tapi rencana tersebut berubah. Ajarn Bouavanh menghubungi suaminya. Jadilah aku diantar oleh suaminya untuk bertemu dengan ma Tong yang saat itu berada di sekolah TK demonstrasi di universitas Dongdhok, Vientine. Ajarn Bouavanh sempat berujar, "my husband will accompany you to Dongdhok University. He have old car. Old man drive old car. Its okay for you?". Aku hanya bisa tertawa mendengar leluconnya. Jelas bagiku tak masalah. Dengan bisa diantar gratis oleh mobil miliknya saja aku sudah sangat senang dan berterima kasih.
Tiba giliranku. Aku serahkan paspor dan kartu imigrasi. Setelah petugas imigrasi selesai mendata identitasku, aku melanjutkan langkah menuju pintu keluar. "Hanya sebegitu saja?", pikirku. Aku kehilangan beberapa orang yang sejak awal aku perhatikan. Sedikit khawatir. Aku kembali melihat sekeliling, sekiranya ada loket imigrasi yang aku lewatkan. Namun dapat aku pastikan bahwa semua proses di perbatasan ini telah selesai. Naiklah aku ke bus yang sebelumnya aku tumpangi untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Pasporku yang telah diberi cap oleh petugas imigrasi Laos. |
Okay, kali ini lancar. Semua beres. Aku kembali naik ke bus. Kali ini aku harus menunggu lebih lama. Kugunakan waktu untuk melihat kondisi sekeliling dari jendela bus. Nampak antrian di toilet dan beberapa orang mencoba masuk kedalam bus-ku hanya untuk memastikan apakah bus yang aku tumpangi adalah juga bus mereka. Dan hampir semua dari mereka salah bus. Entahlah :D
Selain pemandangan banyak orang yang riuh rendah mengurusi urusan mereka masing-masing di loket dan toilet, aku juga melihat ada beberapa orang yang memanfaatkan dengan posistif kondisi tersebut. Beberapa gerai penukaran uang dan jasa sewa mobil nampak menjadi favorit pengusaha lokal. Omong-omong gerai penukaran uang, aku sama sekali tak terpikirkan untuk menukar uang dari baht (mata uang Thailand) ke kip (mata uang Laos). Sempat muncul inisiatif untuk kembali turun dari bus dan menukarkan uang di gerai yang aku lihat, namun kuurungkan niatkau karena khawatir sebentar lagi bus aku melaju. Dan hingga kini, pada akhirnya aku tahu bahwa keputusan yang telah aku buat adalah yang paling tepat. Aku tak membutuhkan hal tersebut. Kebutuhanku di Laos dapat aku penuhi tanpa harus menukarkan uang. Selain karena tak perlu membeli kebutuhan makan, saat hendak membeli oleh-oleh pun banyak pedagang yang menerima mata uang Thailand. Selebihnya untuk jajan saat jalan-jalan... aku ditraktir. Alhamdulillah...
Sekita pukul 13.30 aku tiba di bus terminal Vientine, Laos. Suasananya tak jauh berbeda dengan bus terminal yang umunya ada di Indonesia. Namun pemandangan khas Laos yang terlihat dari tulisan-tulisan pada papan iklan menjadi satu hal yang paling membedakan. Ketika aku hendak turun dari bus, sejumlah orang yang aku tebak mereka adalah supir Song Theo (angkutan umum khas Thailand dan Laos) menatap wajahku dan berusaha mengajakku menaiki kendaraan mereka. Aku yang sudah jelas akan dijemput oleh rekan dosenku tentu hanya bisa menggelengkan kepala dan terus melangkahkan kaki menuju sebagai pertanda bahwa aku menolak tawaran mereka. Dan tentu saja mereka berbicara dalam bahasa Laos yang tidak aku mengerti.
Ajarn Fa ternyata mengambil gambarku saat aku berbalik arah. *Jangan salah fokus! :D |
Basa-basi untuk saling menanyakan kabar telah selesai, kami berjalan menuju tempat parkir. Kami sempat berhenti sejenak untuk membeli air mineral dan camilan. Kulihat peluhnya bercucuran. Sangat panas memang Laos ini. Macam Thailand saja. Namun aku tetap teduh dengan hijabku. *senyum manis plus wajah polos :D
Malam selepas kedatanganku, Ajarn Fa menjamuku untuk makan malam di restoran halal India. Roti Cane, kari domba, dan mie goreng ayam adalah menu yang dipesan olehku dan Ajarn Fa. Selepas makan malam, Ajarn Fa mengajakku berjalan menyusuri pasar malam di sepanjang tepian sungai Mekong. Beberapa buah souvenir aku beli. Diantaranya gantungan kunci bertuliskan "Laos" yang akan aku berikan pada teman-teman muslimku di asrama. Kembali ke rumah Ajarn Fa kemudian beristirahat menjadi penutup malamku hari itu.
Aku lupa alasanku pada saat itu kenapa menutup hidung dengan satu jari -_- |
Kuperkenalkan ia adalah Ajarn Fa. Seorang wanita yang kulihat selalu ceria, ramah, dan baik hati. Sungguh beruntung bertemu dengan beliau. Pendidikan menjadi satu bidang yang ia tekuni secara serius. Ia memiliki sekolah TK dan SD di rumahnya. Lagi-lagi aku merasa sangat beruntung. Selain bisa tinggal sementara di Laos tanpa mengeluarkan biaya, aku mendapatkan bonus untuk melihat secara langsung kegiatan TK di negara Laos. Ya semacam observasi tanpa terencana-lah.
Di sekolah TK milik Ajarn Fa, aku berkenalan dengan hampir semua guru dan staff. Namun hanya ada satu orang staff yang intens berkomunikasi denganku. Beliau cukup fasih berbahasa Inggris. Memberi makanan menjadi hal favorit yang ia lakukan padaku. Namanya Ajarn Bouavanh (baca: Buaran). Di hari pertama kami bertemu, beliau memberiku roti khas Laos yang sangat aku sukai. Sayang, aku tak berkesempatan untuk membeli roti tersebut untuk dibawa ke Thailand. Oiya, tak hanya roti, beliau memberiku bekal buah-buahan yang dibawanya. Dalam hati merasa sedikit tak enak, tapi akan lebih tak enak lagi bila aku menolak pemberiannya. Jadilah roti, mangga, dan anggur beliau berikan padaku.
Murid TK di sekolah milik Ajarn Fa |
Singkat ceritanya lagi, sampailah aku di tempat temanku. Ternyata hanya butuh waktu 15-20 menit untuk menuju universitas Dongdhok dari kediaman Ajarn Fa yang entah apa nama distriknya, aku lupa. Pelukan hangat kembali mengawali pertemuanku dengan ma Tong. Kami berdua berjalan menuju ruangan ma Tong. Kulihat suasana bangunan tua nampak teduh diantara rimbunnya rumput dan pepohonan. Ma Tong sempat meminta maaf karena ia belum sempat memangkas rumput liar yang tumbuh kian meninggi. Aku bilang "tak apa". Tersirat sudah bahwa ma Tong adalah salah satu orang penting di sekolah TK tersebut.
Setelah bercakap-cakap barang sebentar di ruang kerja ma Tong, aku putuskan untuk melihat sekeliling lingkungan sekolah. Alasan lainnya adalah karena aku melihat ma Tong sibuk dengan tugas-tugas pekerjaannya. Niat hati tak ingin mengganggu pekerjannya pun berjalan mulus. Ketika keluar ruangan, aku melihat seorang anak kecil, tebakanku ia berusia anak kelas 4 SD. Aku memberanikan diri untuk melempar senyuman. Ia pun membalas. Kulihat ia bermain ayunan. Aku pun meneruskan langkah kaki menuju ayunan lain. Namun bentuk ayunan yang aku duduki tak nyaman. Kuputuskan untuk kembali menghampiri anak kecil tadi. Kembali senyum dan mencoba bertanya namanya dalam bahasa Inggris menjadi awal percakapanku dengannya.
Akhirnya aku duduk bersamanya di ayunan. Sangat menyenangkan meski kami kesulitan berkomunikasi karena terkendala bahasa. Ia hanya bisa bahasa Laos dan aku hanya bisa bahasa qalbu. eaaaa
Kami bersusah payah untuk dapat berkomunikasi. Beberapa cara kami lakukan, yaitu dengan membuat gambar, ekspresi wajah dan gerakan anggota badan seperti gelengan kepala dan lambaian tangan. Lucu memang, namun mengesankan. Bahkan ia nampak antusias untuk menanyakan kosakata dalam bahasa Inggris untuk nama-nama binatang dan benda-benda disekitarnya. Dari pembicaraan yang kami lakukan dengan susah payah akhirnya aku juga mengetehaui bahwa namanya Kao yang dalam bahasa Thailand dan juga Laos artinya "sembilan". Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa segera pulang kerumah karena ibunya pergi ke suatu tempat dengan membawa kunci rumah dan baru akan kembali pukul satu siang.
Aku segera bertanya padanya apakah ia lapar. Ia pun mengiyakan. Teringat bekal roti dan buah-buahan yang aku dapatkan dari Ajarn Bouavanh, susay payah aku segera menerangkan bahwa aku akan masuk ke ruangan untuk mengambil tasku. Aku berujar padanya untuk tetap duduk menunggu. Iya pun mengerti. Tak berapa lama dua botol kecil air mineral dan bekalku kubawa keluar. Kuberi roti dan air mineral padanya sama rata. Tak lupa buah-buahan yang kubawa turut serta. Kami menikmati santapan ringan itu bersama-sama.
Tak berapa lama setelah selesai makan, ma Tong keluar dari ruang kerjanya dengan membawa tasku. Akhirnya aku harus berpisah dengan Kao. Aku melambaikan tangan tanda perpisahan. Kao pun tersenyum. Aku dan ma Tong berjalan menuju tempat parkir. Baru ku tahu bahwa ma Tong pandai menyetir mobil. Kami berangkat menuju rumah ma Tong. Jalan yang tak cukup bagus kami lewati. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, kami pun sampai. Kedatanganku ke rumah ma Tong disambut oleh ibunya ma Tong dan dua anjing milik ma Tong. Sungguh aku dibuat terkejut dengan kehadiran dua hewan peliharaan ma Tong itu. Bukan hanya karena takut terkena najis dari air liurnya, namun karena pada dasarnya memang aku takut anjing.
Berhubung saat itu memasuki waktu dzuhur, aku pun mengambil wudhu dan meminta izin untuk melaksanakan shalat dzuhur. Ma Tong menyiapkan tempat untukku. Duh dalam hati sempat tak yakin akan kesucian tempat tersebut karena ada anjing. Ma Tong memang telah menyapu ruangan tersebut. Apa daya tak ada tempat lain, kugelar sajadah dan shalat-lah aku di ruang tamu ma Tong.
Selepas shalat dzuhur, kami bergegas pergi untuk makan siang kemudian pergi ke education ministry. Rasa kantuk mulai datang. Aku harus bersabar menunggu ma Tong hingga urusannya selesai. Dan setelah kurang lebih satu jam setengah, kami pun pulang. Ma Tong mengantarku menuju rumah Ajarn Fa. Lucunya kami sempat tersesat karena sama-sama belum hafal jalan. Setelah berhasil menemukan rumah Ajarn Fa, ma Tong turut ikut denganku untuk menemui Ajarn Fa. Mereka berbincang hangat dan kulihat mereka bertukar nomor telepon. Maklum, sama-sama penggiat sekolah TK. Tak lama, ma Tong pun pulang. Berpisahlah kami, dan mungkin itu adalah pertemuan terakhirku dengan ma Tong.
Selepas mengantar ma Tong hingga pintu gerbang, aku ijin untuk melaksanakan shalat ashar. Ajarn Fa pun mengiyakan. Hari itu ditutup dengan makan malam di restoran Jepang bersama keluarga Ajarn Fa yang berasal dari Jepang dan Thailand.
bersambung....
Kao, teman kecil dari Laos. |
Akhirnya aku duduk bersamanya di ayunan. Sangat menyenangkan meski kami kesulitan berkomunikasi karena terkendala bahasa. Ia hanya bisa bahasa Laos dan aku hanya bisa bahasa qalbu. eaaaa
Kami bersusah payah untuk dapat berkomunikasi. Beberapa cara kami lakukan, yaitu dengan membuat gambar, ekspresi wajah dan gerakan anggota badan seperti gelengan kepala dan lambaian tangan. Lucu memang, namun mengesankan. Bahkan ia nampak antusias untuk menanyakan kosakata dalam bahasa Inggris untuk nama-nama binatang dan benda-benda disekitarnya. Dari pembicaraan yang kami lakukan dengan susah payah akhirnya aku juga mengetehaui bahwa namanya Kao yang dalam bahasa Thailand dan juga Laos artinya "sembilan". Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa segera pulang kerumah karena ibunya pergi ke suatu tempat dengan membawa kunci rumah dan baru akan kembali pukul satu siang.
Aku segera bertanya padanya apakah ia lapar. Ia pun mengiyakan. Teringat bekal roti dan buah-buahan yang aku dapatkan dari Ajarn Bouavanh, susay payah aku segera menerangkan bahwa aku akan masuk ke ruangan untuk mengambil tasku. Aku berujar padanya untuk tetap duduk menunggu. Iya pun mengerti. Tak berapa lama dua botol kecil air mineral dan bekalku kubawa keluar. Kuberi roti dan air mineral padanya sama rata. Tak lupa buah-buahan yang kubawa turut serta. Kami menikmati santapan ringan itu bersama-sama.
Tak berapa lama setelah selesai makan, ma Tong keluar dari ruang kerjanya dengan membawa tasku. Akhirnya aku harus berpisah dengan Kao. Aku melambaikan tangan tanda perpisahan. Kao pun tersenyum. Aku dan ma Tong berjalan menuju tempat parkir. Baru ku tahu bahwa ma Tong pandai menyetir mobil. Kami berangkat menuju rumah ma Tong. Jalan yang tak cukup bagus kami lewati. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, kami pun sampai. Kedatanganku ke rumah ma Tong disambut oleh ibunya ma Tong dan dua anjing milik ma Tong. Sungguh aku dibuat terkejut dengan kehadiran dua hewan peliharaan ma Tong itu. Bukan hanya karena takut terkena najis dari air liurnya, namun karena pada dasarnya memang aku takut anjing.
Berhubung saat itu memasuki waktu dzuhur, aku pun mengambil wudhu dan meminta izin untuk melaksanakan shalat dzuhur. Ma Tong menyiapkan tempat untukku. Duh dalam hati sempat tak yakin akan kesucian tempat tersebut karena ada anjing. Ma Tong memang telah menyapu ruangan tersebut. Apa daya tak ada tempat lain, kugelar sajadah dan shalat-lah aku di ruang tamu ma Tong.
Dari kiri ke kanan: aku, kakak Ajarn Fa, saudara Ajarn Fa dari Jepang, ibu Ajarn Fa,paman Ajarn Fa, sepupu Ajarn Fa dari Thailand. |
Selepas mengantar ma Tong hingga pintu gerbang, aku ijin untuk melaksanakan shalat ashar. Ajarn Fa pun mengiyakan. Hari itu ditutup dengan makan malam di restoran Jepang bersama keluarga Ajarn Fa yang berasal dari Jepang dan Thailand.
bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar