Entah aku harus menyebutnya apa, seorang laki-laki yang merupakan cucu dari adik nenekku. Sepupu? Ah, aku tak begitu yakin dengan sebutan itu! Intinya kami berdua bersaudara. Tapi, selama hidup kami, hanya dua kali aku bertemu dan berbincang dengannya, sekedarnya. Itupun tanpa sengaja saat aku berkunjung ke rumah neneknya, yang sudah kubilang, adik dari nenekku, dan dipinggir jalan saat ia akan berangkat ke Bogor. Saat itu ia dan aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Namun, perbedaan kami cukup mencolok. Ia yang kabarnya kudengar sudah hafal 30 juz Al Qur'an dan sekolah dengan biaya beasiswa, sedangkan aku? Saat itu memakai kerudung saja masih "bongkar-pasang". Beasiswa? Dapat peringkat satu saja aku tak dapat reward apapun dari sekolah. Hiks. Bukannya aku bermaksud ingin mendapatkan hadiah dari sekolah, tapi maksudku sangat tidak mungkin aku mendapatkan beasiswa pada saat itu dikarenakan kebijakan-kebijakan sekolah yang, ya begitulah.
Kami berdua sekolah di sekolah yang berbeda. Ia sekolah di salah satu sekolah Islam terpadu yang cukup terkenal di kota Kuningan. Sedangkan aku harus masuk pilihan kedua karena gagal seleksi di SMA favorit. Tak apa, aku berlapang dada. Dan mungkin itulah yang terbaik. Karena pada tahun pertama aku duduk di bangku SMA, aku mendapatkan peringkat pertama.
Lepas SMA, ia kudengar kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri terkenal di Bogor. Sedangkan aku kuliah di perguruan tinggi negeri kampus daerah (ya kalian sudah tahu-lah dari cerita-ceritaku sebelumnya, jika kalian membaca). Dari situ, aku kurang mengetahui kabar dia mendapatkan beasiswa atau tidak. Tapi dari informasi yang aku dapatkan ketika berkunjung ke rumahnya dalam rangka mengantar ibuku untuk bersilaturahmi dengan ibunya (ibuku dan ibunya berpredikat sebagai sepupu), ia terkadang meminta dikirimi uang, dan terkadang ia pun mengirimkan uang untuk ibunya. Dari saat itu, sedikit banyak aku menjadikannya sebagai role mode dalam hidupku. Serius! Aku melakukan hal yang sama. Saat semester 4 aku sempat berbisnis dan aku mengirimkan uang untuk nenekku (karena pada saat itu ibuku masih bekerja). Namun ketika ada keperluan mendadak, aku meminta uang pada ibu dan bapakku. Haha.
Kesempatan berkunjung ke rumahnya tak hanya sekali, namun beberapa kali, dan semuanya dalam rangka silaturahmi. Aku selalu kagum pada ibuku, karena ia yang selalu menanggapi positif jika aku memberi saran untuk menjaga silaturahmi dengan saudara. Jika tujuan utama ibuku adalah bertemu dengan sepupunya, tujuan utamaku adalah mengorek informasi tentang "dia". Saat itu aku mendengar bahwa ia sudah ke luar negeri, bukan lagi satu negara, tapi hampir negara-negara ASEAN sudah ia kunjungi. Aku "panas", "meradang". Lanjut lagi aku dengar bahwa ia menjadi ketua BEM. Aku balas memanasi ibunya (padahal sebetulnya diriku sendiri yang "panas"), aku berkata pada ibuku dengan tujuan untuk disampaikan pada ibunya bahwa aku menjadi ketua organisasi program studi di kampusku, sama-sama ketua hanya beda level saja. Jelas, tak ada efek apa-apa bagi ibunya. Aaarrrghhh.
Ada hal lucu disela-sela kunjungan itu. Ketika ibunya ke dapur untuk mempersiapkan minuman, aku berkata pada ibuku, "tuh, dia udah ke luar negeri, masa aku ngga boleh ke luar negeri?!".
"Nya mun dua atawa tilu bulan mah teu nanaon, ari sampe lila mah da kumaha watir mamahna", sahut ibuku padaku. Artinya, "ya kalau dua atau tiga bulan sih tak apa, kalau lama, ya gimana, mamah khawatir."
Sejak saat itu doa ibuku seakan terkabul. Aku mendapatkan beasiswa magang di Universitas Mahasarakham, Thailand, selama 4 bulan. Program yang aku ikuti memang persyaratannya harus mengajukan rancangan kegiatan yang durasi waktunya tidak boleh kurang dari 3 bulan dan tidak boleh lebih dari 5 bulan.
Informasi selanjutnya adalah: dia sudah pernah ke Kampung Inggris! Heuh aku tambah panas. Dalam hati hanya berpikir "kok bisa-bisanya dia diem-diem (emang dia diem gak pernah ngomong sama aku -_- ) tapi tahu-tahu udah pernah belajar ke Kampung Inggris?! Aku yang sudah lama ingin belajar disana malah hingga waktu itu belum kesampean!". Dari situ aku berkata lagi pada ibuku, "tuh, Mah. Masa si *iki bisa ke Kampung Inggris kenapa aku ngga bisa?".
"atuh da si *iki mah lalaki, teu watir" (Kan si *iki laki-laki, jadi ngga khawatir), jawab ibuku. Dari situ aku hanya diam. Hingga pada akhirnya bulan Agustus 2015 keinginanku untuk belajar di Kampus Inggris terwujud.
Ya, seakan saudaraku itu menjadi "patokan" bagiku untuk mengejar suatu prestasi. Kehadirannya sangat berdampak positif bagiku. Namun sayang, undangan facebook dariku tak ia konfirmasi. Dan ketika aku mencari namanya di twitter dan instagram, aku hanya bisa stalking dan menautkan ekspresi kagum di depan layar laptop ketika melihat apa yang ia posting. Aku tak ingin mem-follow-nya, karena aku tahu ia tak akan merespon.
Ada satu kabar yang membuatku bahagia ketika suatu waktu aku berkunjung ke rumahnya. Ibunya mengatakan bahwa *iki menanyakan kabarku (bagaimana aku sekarang, ada dimana, kuliah dimana). Jelas aku bahagia! Saudara yang sangat pendiam dan tak pernah mencoba ingin bersilaturahmi denganku, diam-diam menanyakanku! Haha.
Entah iya atau tidak, ia menjadi panutanku. Aku ingin terus berubah menjadi lebih baik agar sepertinya, hmm minimal istiqomah-nya seperti dia, atau prestasinya. Ia inspirasi bagiku yang hanya seorang remaja labil, yang masih sering menuruti hawa nafsu. Hmm yakin masih remaja labil? Udah mau 23 tahun loh nanti bulan Agustus! Ckck.
Bismillah ya Rabb... kuatkan hatiku ini, dan limpahkan hidayah padaku selalu. Aamiin...
Mahasarakham, 2 Juli 2016
0 komentar:
Posting Komentar