Jumat, 13 Desember 2013

Mindset Therapy

Judul : Mindset Therapy Penulis : Andrias Harefa Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Mindset Therapy Pengantar Karya ke-37 – Wajib dibaca lebih dulu MINDSET THERAPY: LEARN, UNLEARN, RELEARN Untuk waktu yang lama saya selalu gamang memikirkan apakah perbedaan esensial antara pembelajaran anak-anak dan pembelajaran orang dewasa. Benar bahwa keduanya tentulah berbeda. Pembelajaran anak-anak bertumpu pada situasinya yang masih sangat kurang dalam aspek informasi, pengetahuan, dan keterampilan (knowledge-skills), ilmu pengetahuan dan nilai-nilai (science-values). Karena itu proses pembelajran anak-anak bersifat memasok informasi, pengetahuan dan keterampilan, dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai yang relatif baru. Entah dengan metode yang membuat siswa aktif, berpusat pada siswa, atau metode yang lebih tradisional dimana pengajar memainkan peran dominan, tujuannya tetap memasok informasi, pengetahuan dan keterampilan, dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai tertentu yang relatif baru kepada siswa yang belajar. Sementara itu, orang dewasa secara relatif diasumsikan telah memiliki banyak informasi, pengetahuan dan keterampilan, dan ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai, yang diperoleh lewat proses pembelajaran formal di sekolah-sekolah-universitas; proses pembelajaran nonformal di kursus-kursus dan lembaga pelatihan; dan proses pembelajaran informal lewat interaksi sosial di masyarakat. Oleh sebab itu proses pembelajaran orang dewasa tidak lagi bersifat sekedar memasok informasi, pengetahuan dan keterampilan, dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai yang baru. Ia memerlukan proses yang berbeda. Pembelajaran orang dewasa harus dilakukan secara dialogis, komunikasi dua arah, itu pasti. Pembelajaran orang dewasa perlu kontekstual dan aplikatif, sesuai situasi dan kondisi hidup yang dihadapinya dan apa yang dipelajari mesti dapat diterapkan, itu juga penting. Pembelajaran orang dewasa mesti melibatkan mereka, menyentuh motivasi mereka, menghargai mereka, memperlakukan mereka sebagai subjek, dan seterusnya. Itu semua benar. Namun, saya merasa tidak puas dengan semua jawaban semacam itu. Mestinya ada jawaban yang lebih baik. Belakangan, ketika saya merenungkan kata “learn”, “unlearn”, dan “relearn”, muncullah jawaban yang hemat saya lebih baik. Kata “learn” lebih tepat digunakan dalam proses pembelajaran anak-anak. Proses mendapatkan, memperoleh, mengumpulkan informasi, pengetahuan dan keterampilan, dan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai hidup yang relatif baru, itulah makna “learn” (belajar). Lewat proses pembelajaran ini anak-anak membentuk pola pikirnya, mengasah keterampilannya, menemukan dan menumbuhkan nilai-nilai serta sikap hidup dalam dirinya, dan dalam proses interaksinya dengan sesamanya. Dan setelah proses pembelajaran ini berlangsung dalam periode tertentu, maka ia menjadi manusia dewasa. Artinya, secara relatif ia telah memiliki informasi, pengetahuan dan keterampilan, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang bisa ia pergunakan untuk hidup berdikari, madiri dalam relasi dengan masyarakatnya. Apakah orangd ewsa masih perlu belajar? Tentu saja. Namun, pembelajaran orang dewasa tidak lagi sekadar bermakna “learn”; tidak lagi sekadar mendapatkan-memperoleh-mengumpulkan. Saya bahkan berpendapat bahwa proses pembelajaran orang dewsa yang paling menantang adalah “unlearn” pada satu sisi, dan kemudian “relearn” pada sisi lainnya. Belajar dalam arti “unlearn” adalah meninggalkan, melepaskan, mencopot atau membuang pelajaran-pelajaran yang ternyata tidak benar, tidak baik, tidak berguna, tidak mendatangkan manfaat, kurang komplit, kadaluarsa, dan ketinggalan zaman. “Unlearn” juga berarti meninggalkan kebiasaan lama yang tidak sehat, kebiasaan yang menghambat kemajuan, kebiasaan yang merusak kesehatan, kebiasaan yang mengancam hubungan silaturahmi dengan sesama, dan berbagai kebiasaan buruk serta tak berguna lainnya; yang sudah terlanjur pada dalam diri kita. Kegiatan ini dalam proses “unlearn” adalah dekontruksi dar kontruksi yang telah dibentuk lewat proses “learning” sebelumnya; yakni dengan meninggalkan-mencopo-membuangmembongkar apa yang sudah ada, sudah dipelajar. Pada sisi lain orang dewasa juga belajar dalam arti “relearn”, yakni memperbaiki pengetahuan yang salah, meningkatkan keterampilan yang kurang, meluruskan pemahaman yang keliru, mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih dekat dengan kebenaran, dan seterusnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “relearning” adalah proses rekontruksi, mengganti apa yang sudanh di “un-learn” (dekontruksi). Kegiatan inti dalam proses ‘relearning” adalah rekontruksi dengan memperbaiki-meningkatkan-meluruskan. Dan itu tentu harus berlangsung terus sepanjang hayat dikandung badan. Orang dewasa yang biasanya merokok dan kemudian meninggalkan kebiasaan merokoknya itu karena sesuatu kesadaran baru tentang kesehatan, sesungguhnya sudah melakukan “unlearn” (dekontruksi). Orang dewasa yang biasanya tidak menyediakan waktu untuk olah raga, tetapi kemudian atas nasehat dokter dengan terpaksa berolah raga secara rutin, juga mengalami proses “unlearn” (dekontruksi) dan :relearn” (rekntruksi) sekaligus. Orang dewasa yang tidak mahir berbicara di depan umum, lalu mengikuti pelatihan berbicara di muka umum, sesungguhnya sedang belajar dalam arti “unlearn” dan “relearn” juga. Orang dewasa yang mengalami trauma atau memiliki phobia tertentu, lalu datang menemui psikolog atau terapis untuk dibantu menghilangkan trauma atau phobia tersebut, pada dasarnya sedang dibantu mengalami “unlearn” dan :relearn”. Dengan pemahaman sederhana di atas, undangan untuk menjadi pembelajar seumur hidup menjadi sangat logis dan masuk akal. Sebab, siapa saja yang sudah cukup banyak “learn” (mendapatkan-memperoleh-mengumpulkan: punya kontruksi pikiran-keterampilan-keyakinan-nilai-dsb), akan menemukan banyak dari apa yang sudah ia pelajari itu ternyata masih harus dan perlu di-”unlearn” (meninggalkan-melepaskan-membuang:dekontruksi) dan ia perlu “relearn” (memperbaiki-meningkatkan-meluruskan: rekontruksi). Jadi, pembelajaran anak-anak lebih terpusat pada proses “learn”, yakni membangun kontruksi pikiran-keterampilan-keyakinan-nilai-nilai-dsb; soal “unlearn” (dekontruksi) dan “relearn” (rekontruksi). Dan kalau pembelajaran disederhanakan sebagai proses yang terkait dengan mindset atau pola pikir; maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran anak-anak lenih merupakan proses membentuk pola pikirnya (mindset); sementara pembelajaran orang dewasa lebih merupakan proses memeriksa untuk kemudian membongkar dan/atau menata-ulang pola pikir tersebut. TUJUAN LEARN-UNLEARN-RELEARN Mengapa orang dewasa perlu terus belajar dalam arti unlearn dan relearn? Jawaban paling sederhana yang saya pahami adalah agar tujuan pemebelajaran itu tercapai, yakni manusia menjadi dirinya yang terbaik, manusia menjadi manusiawi sebagaiman diciptakan oleh Alloh subhanahu wata’ala. 1. Mindset Pola pikir. Begitulah penjaga rubrik bahasa harian Kompas mengusulkan terjemahan untuk kata mindset kepada saya. Sementara penulis The Science of Success, James Arthur Ray, menerangkan mindset sebagai segugusan keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspetasi, sikap kebiasaan, opini, dan pola pikir tentang diri Anda, orang lain, dan hidup. Melalu mindset, Anda menafsirkan (memaknai) apapun yang Anda lihat dan Anda alami dalam hidup. Sedangkan American Heritage Dictionary mendefinisikan mindset sebagai suatu sikap mental atau disposisi tertentu yang menentukan respons dan pemaknaan seseorang terhadap situasi yang dihadapinya). Pemaknaan tentang pola pikir akan membantu siapa pun untuk menyadari bahwa setiap respons dan penafsiran mereka untuk memahami situasi yang dihadapinya adalah hasil pembelajaran di masa lalu. Dengan demikian, pola pikir dapat diperbaiki atau bahkan diubah total. Setiap orang bukan hanya bisa learn, tetapi juga mampu un-learn dan kemudian re-learn. Apa yang sudah dibentuk bisa dihancurkan dan dibentuk ulang dengan cara tertentu sepanjang diinginkan oleh si pemiliki pola pikir. Pola pikir merupakan hasil dari sebuah pembelajaran (learning) dan karenanya bisa juga diubah (unlearning), dan dibentuk ulang (relearning). Ada yang mudah dan ada yang sulit diubah, memang. Ada yang bisa cepat, ada yang perlu waktu lama, tentu saja. Ada yang bisa kita ubah dengan kesadarn sendiri, ada yang baru berubah setelah mengalami peristiwa tertentu. Adapula pola pikir yang bisa kita ubah dengan bantuan terapis, konselor, dan pihak tertentu yang memang kompeten dalam soal ini. Apa pertanda dari perubahan pola pikir? Mungkin ini: kita memahami hal yang sama dengan pengertian berbeda; kita menyadari apa yang semula kita benci ternyata justru perlu kita kasihi; kita tiba-tiba sadar bahwa apa yang tadinya kita yakini benar ternyata salah; kita melihat diri, pekerjaan dan dunia kita dengan cara berbeda dengan sebelumnya. Pola pikir yang berubah tidak mengubah situasi dan lingkungan dimana kita hidup, melainkan mengubah diri kita sendiri dari dalam. Pola pikir. Pikiran punya pola. Sungguh luar biasa! 2. Dua Pola Pola pikir. Pikiran punya pola. Dan pola itu menentukan pemaknaan kita terhadap situasi hidup, bahkan juga memandu respons kita terhadap segal peristiwa yang hadir dalam hidup. Lalu, sebagian orang menjadi optimis, sebagian lagi pesimis. Sebagian menikmati sukses, sebagian lagi terus berkutat dengan kiat-kiat meraih sukses. Sebagian menjadi intelektual, sebagian algi miskin pengetahuan. Sebagian menjadi orang paling kaya, sebagian lagi sibuk dengan upah minimum regional. Sebagian berbadan subur, sebagian lagi kurus kering. Sebagian merasa rendah diri, sebagaian lagi nampak percaya diri. sebagian padai berkomunikasi, sebagian lagi gagap mengelola informasi. Sebagian menjadi pengusaha, sebagian lagi menjadi pegawai. Mengapa ada perbedaan seperti itu? Salah satu jawabannya adalah karena perbedaan pola pikr. Ada variasi pola pikir dalam masyarakat. Setiap pola pikir menggerakkan perilaku tertentu. Dan setiap perilaku punya konsekuensi tertentu. Di sini kita ingatkan, setiap orang bebas memikirkan hal yang mau dipikrkannya. Namun, ia terikat pada konsekuensi dari pikiran tersebut. Setiap orang bebas memilih perilaku atau tindakan yang akan diambilnya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ia terikat pada konsekuensi dari perilaku yang dipilihnya secara bebas itu. Jadi, kita bebas memilih sekaligus terikat oleh konsekuensi. Luar biasa. Sekarang, mari kita bertanya, dari mana pola pikir itu kita peroleh? Apakah ia telah ada begitu saja ketika kita dilahirkan? Apakah ia merupakan sesuatu yang diwariskan oleh orang tua kita? Atau kita sendirikah yang membentuknya? Bagaimana pengaruh lingkungan sekitar? Mungkinkah seseorang memiliki pola pikir yang berbeda dengan pola pikir yang dominan yang ada di lingkungan di mana ia dibesarkan? Mungkinkah sebuah negeri yang penuh dengan koruptor melahirkan orang-orang yang antikorupsi? Mungkinkah sebuah kaum yang didominasi oleh orang-orang yang tercela melahirkan orang-orang yangs suci? Bisakah di kalangan santri atau rohaniwan, muncul penjahat tak bermoral? Dapatkah anak pengusaha menjadi pegawai, dan anak pegawai menjadi pengusaha? Bagaiaman bisa? Mengapa tidak bisa? Sejumlah ahli mengatakan bahwa pola pikir dibentuk lewat proses pengasuhan. Samapi usia tiga tahun, seorang anak boleh dikatakan “menelan” semua perlakuan yang diterimanya, dan menyimpannya dalam memori otak. Lalu, pada lima tahun berikutnya, ia juga masih lahap menelan sebagian besar (tidak semua) hal yang masuk melalui panca inderanya (visual-auditory-kinestetik-gustatori-olfactor). Ia mulai bisa berpikir untuk memilih dan memilah secara sadar. Dengan kata lain, pola pikir dibentuk lewat proses pembelajaran. Masalahnya, pola pikir ini kemudian menghadapkan setiap orang pada pilihan untuk mempercayai apakah kemampuannya bersifat tetap atau permanen (setelah usia tertentu) atau selalu tumbuh dan berkembang (sampai usia berapa pun). Jika pola pikir bersifat tetap, yang diperlukan hanyalah pembuktian diri. namun, jika pola pikir itu bisa terus dikembangkan melalu proses pembelajaran, tidaklah terbatas kemampuan (atau kecerdasan) seorang anak sepanjang masih terus belajar mengembangkan dirinya. Konsekuensi dari pola pikir tetap versus pola pikir berkembang mengingatkan kita pada perseteruan pandangan mengenai apakah kecerdasan bersifat tetap atau berkembang melalui pengalaman dan perlakuan. Apakah kecerdaan bersifat genetis atau karena pengkondisian lingkungan? Orang cerdas itu karena bawaan (nature) atau hasil binaan (nurture)? Orang cerdas itu karena bakatnya atau karena usahanya yang terus menerus? Kita bersyukur bahwa dewasa ini perseteruan itu sudah dapat kita sikapi secara lebih baik. Misalnya, kita dapat mengutip pernyataan ahli saraf terkemuka Gilbert Gottlieb bahwa sebenarnya gen ata bakat dan lingkungan tidak saja bekerja seiring dengan perkembangankita/ lebih dari itu, gen atau bakat juga membutuhkan masukan dari lingkungan agar dapat bekerja secara tepat. Kita juga dapat mengingat itu bahwa orang yang pada awalnya paling cerdas tidak selalu menjadi yang paing cerdas pada akhirnya. “Dengan praktik, pelatihan, dan yang terpenting, metode yang tepat, kita dapat meningkatkan perhatian, memori kita, penilaian, dan tentu saja, menjadi lebih cerdas dari sebelumnya.” Kata Binet dalam Modern ideas about Children. p