Tiga hari lagi pembagian rapot di
TK tempatku mengajar. Semakin hari semakin sedikit murid-murid yang tidak
sekolah. Alasannya bermacam-macam, ada yang memang sedang sakit, susah bangun
pagi, disunat, dan lain sebagainya. Contohnya pada salah satu murid kelas B.
Sebut saja namanya Ipa, ia termasuk yang masih “mending” hadir ke sekolah saat
Ramadhan ini, meski kadang masuk dan kadang tidak, bahkan sekalinya masuk
sekolah ia Nampak tak bersemangat.
Aku mencoba mendekatinya dan
berbicara empat mata. Pagi tadi Ipa memisahkan dirinya sendiri dari teman-teman
yang lain. Ipa hanya duduk di kursi sendirian, sedangkan anak-anak yang lain
bersila di karpet membentuk lingkaran kecil. Aku bersimpuh mensejajarkan tinggi
tubuhku dengannya, Ipa masih cuek saja. Aku mencoba memulai percakapan
dengannya.
“Ipa, kenapa tidak mau duduk di karpet sama teman-teman?”, tanyaku.
“Ngga.”, kata Ipa.
“Emangnya kenapa, nak?”, tambahku.
“Gak apa-apa.”, tegasnya.
“Ipa puasa tidak, nak?”, tanyaku lagi.
“Puasa”, jawab Ipa dengan singkatnya lagi.
“Puasanya sampe jam berapa, sayang?”
“Jam 6.”
“Jam 6 pagi?”, candaku.
Ipa mulai tersenyum sambil memprotes,
“bukan, bu. Jam 6 sore.”
“Oh, ibu pikir sampe jam 6 pagi. Ipa sahur sama apa?”, tanyaku
ingin tahu.
“Mie goreng, bu.”
Cukup panjang percakapanku
dengannya pada saat itu, tapi Ipa masih saja belum mau bergabung bersama temannya
yang lain. Ia betah duduk sendiri sambil tetap memperhatikan kegiatan yang kami
lakukan.
Uniknya, kenapa kegiatan mendongeng
tiba, tanpa disuruh Ipa pun menghampiri lingkaran kami. Ia terlihat begitu
antusias memperhatikan cerita yang disampaikan.
“Ipa…Ipa…, maafkan bu guru ya, nak. Jika selama ini bu guru belum
sepenuhnya mengerti keinginan Ipa”, batinku.
0 komentar:
Posting Komentar