Saat ini, ikan, sayuran, dan
buah-buahan milik mereka masih segar. Tak banyak yang bisa aku lakukan, selain
duduk di depan ruko yang sudah tutup karena petang menjelang. Aku terjebak
hujan.
Seorang ibu paruh baya berbusana
rapih menghampiriku dan duduk disampingku.
“Hendak kembali ke kos”, jawabku
ketika beliau bertanya tujuan perjalananku.
“Ke kondangan, neng”, balasnya
selepas pertanyaan terlontar dariku terkait hal serupa seperti pertanyaan
beliau di awal.
Saat itu juga pandanganku langsung
menyisir jajaran lapak para pedagang di Pasar Lama. Tepat di salah satu ruko,
sebelum perempatan, berdiri cukup megah tenda hajatan. Pinggiran jalan yang
dijadikan tempat prasmanan dan pelaminan dipastikan tergenang air hujan yang
menyumbat. Alasan itulah yang sekiranya dipilih Si ibu sebagai pembenar bahwa
ia harus turut berhenti sejenak dan duduk disampingku.
Tak jauh dari tenda hajatan, tuan
pemilik lapak arang, kelapa muda, dan ikan secara serentak kulihat menggelar terpal.
Pun pembeli, mereka berebut ‘terpal besi’ di ruko milik ‘Si Cici’ dan ‘Si
Koko’. Hampir sebagian besar empunya ruko di Pasar Lama memang ‘Si Koko’. ‘Si Koko’ harus rela
berbagi lahan depan ruko untuk lapak dagang orang-orang yang berjuang membeli sembako.
“Beruntung”, batinku. Aku hanya
harus sesekali menikmati hujan yang datang tak bilang-bilang. Aku juga hanya
harus sesekali saja merasakan terpaan angin kencang, basahnya air hujan, dan
petir yang berdendang. Itu pun hanya karena aku yang masih mengayuh sepeda di
tengah perjalanan pulang dari kegiatan melingkar. Tak seperti mereka yang sudah
lama mengadu nasib di Pasar Lama. Mereka terus mengikuti jaman. Tapi sayang
seribu sayang, jaman berubah seiring berjalannya waktu. Jaman sepertinya tak
bisa menjanjikan apa-apa di Pasar Lama. Karena tak lama lagi jaman akan naik
dan terus berubah.
Ah, jaman. Aku hanya pendatang di
tanah gersang. Tapi gersangnya tanah ini menempaku agar terus membara seperti
arang. Wahai arang dan Pasar Lama, terima kasih telah mengajariku untuk terus
memiliki rasa syukur dan semangat yang membara.
Pasar Lama, 7 Oktober 2016
Ditulis
saat berteduh di ruko Pasar Lama
0 komentar:
Posting Komentar