Cara memahami Lalan. Mungkin itu
adalah judul yang tepat pada bagian depan buku harianku selama membersamai
Lalan. Meski aku hanya seorang guru kelasnya yang bertemu tak lebih dari 5 jam
sehari, namun kesan terbaik haruslah aku tanamkan dalam memori ingatan Lalan
yang masih terlalu muda untuk bersekolah di TK kelas A. Latar belakang alasan orang
tua Lalan memang cukup rasional, bagi mereka, tidak untuk Lalan. Karena alasan efektivitas
menyekolahkan Lalan di TK tempatku mengajar yang berada satu lokasi dengan
sekolah kakak perempuannya di SD, Lalan harus mengikuti peraturan di kelas A
yang seharusnya diperuntukkan bagi anak-anak usia 4-5 tahun. Nyatanya, Lalan
barulah genap 4 tahun beberapa bulan yang lalu. Artinya ia terlalu dini untuk
sekolah.
Bagaimana pun juga, menyekolahkan
anak jika belum tepat usianya sangatlah tidak aku anjurkan. Ibarat memaksakan janin
berusia 6 bulan dalam kandungan untuk segera dilahirkan, padahal belum saatnya.
Maka dari itu, Lalan agak sedikit diperlakukan
khusus. Aku sebagai wali kelasnya berusaha untuk tidak memaksakan suatu hal
pada Lalan jika memang Lalan tidak mau melakukannya. Lalan sudah mau
bersosialisasi dan mengerti bagaimana caranya ia diterima teman-temannya yang
lain saja sudah sangat hebat.
Tak jarang Lalan merengek karena
ada suatu hal yang tak ia sukai. Contohnya tadi pagi. Setibanya di sekolah
Lalan sudah cemberut, tak ada senyum ceria dibibirnya. “Ngikutin kakaknya yang libur”, jelas ibunya padaku dan kepala
sekolah. Ketika di kelas, Lalan pun tak mau mengikuti praktek shalat. Oke, aku
masih berusaha membujuknya dengan 1001 rayuan maut andalan guru TK. Komplit
dengan nada bicara yang super lembut. Hehe
Tapi, Lalan tetap tak mau mengikuti
praktek sholat. Jangankan praktek sholat, wudhu pun ia tak mau. Benar-benar tak
seperti biasanya. Kami masih menuruti keinginannya. “Lalan gak mau sholat!”, celotehnya setiap kali rayuan dariku
keluar. Sampai akhirnya Lalan tiba-tiba merengek hampir menangis. Aku
terheran-heran, tak ada angin tak ada hujan, tak ada teman yang usil padanya,
dan tak ada pula orang yang berada disekitarnya pada saat itu. Tapi Lalan
merengek sambil menghampiriku. “Wah minta
dianter wudhu nih Lalan”, pikirku.
Lalan mengucek mata sebelah
kanannya sambil merengek dan sedikit menjerit, satu tangannya lagi ia gunakan
untuk meraih dan menarik tanganku. Ia tak mau mengatakan kenapa alasannya
menangis. “Lalan kenapa, sayang?”,
tanyaku. Ia hanya merengek sambil terus menarik tangaku. Ternyata aku
digiringnya sampai ke kamar mandi hanya untuk cuci muka. *gubraaaak