Rabu, 21 Oktober 2020

Si Mungil yang Terbalut Batik

Harus melakukan persalinan jauh dari kampung halaman membuatku sedikit menyimpan rindu akan khasnya kehangatan suasana keluarga besar yang masih lekat dengan adat tradisi. Meski begitu, aku tak ingin menyimpan kecewa. Aku menyadari betul bahwa tidak keluar kota untuk sementara waktu adalah keputusan terbaik pada saat ini. Kondisi pandemi Covid-19 yang belum reda memang memaksaku untuk tidak pulang kampung selama hampir 10 bulan.

Persiapan persalinan tetap aku lakukan seperti biasa bersama suami. Ibuku pun akhirnya datang berkunjung seorang diri dari kampung halaman pada awal Oktober lalu. Akomodasi perjalanan berupa mobil travel menjadi pilihan kami. Selain karenan membawa banyak barang, interaksi dengan penumpang lain pun bisa dibilang cenderung aman.

Tiba saatnya hari persalinanku. Berbekal barang-barang yang telah disiapkan oleh aku dan suamiku, seperti pakaian bayi, tempat tidur, selimut, botol susu, peralatan mandi bayi, dan lain sebagainya, ibuku jga turut menyiapkan barang-barang berupa gurita bayi, popok kain, sarung, dan kain batik.

Beberapa hari usai persalinan, bayiku masih menggunakan pakaian yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Tiga hari pasca perawatan di ruang rawat inap, akhirnya aku dan bayiku diperbolehkan pulang. Sesampainya di rumah, ibuku membalutkan kain batik sebagai bedong untuk bayiku. 

"Bayi mungil yang sangat lucu," batinku.

Saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat bayiku sebagai bayi yang pada umumnya dilahirkan di kampung halamanku. Bayi yang imut karena dibedong dengan kain batik. Rinduku akan kampung halaman sedikit terobati. Kini kain batik berwarna dasar cokelat dengan motif parang sedang dipakai oleh bayiku. 

"Selamat datang di kehidupan ibu, nak".

0 komentar:

Posting Komentar