Senin, 19 Oktober 2020

Belahan Jiwaku

Menjelang tengah malam itu aku merasa gugup. Cairan cukup deras keluar dari kemaluanku dan bisa-bisanya aku menganggu tidur malam ibu dan juga suamiku. Tanpa mulas, aku mondar-mandir ke kamar mandi. Aku masih berusaha mengira bahwa itu hanyalah air kencing biasa. Namun melihat derasnya cairan yang keluar tanpa permisi, batinku pun mengiyakan bahwa cairan itu adalah ketuban.

"Bagaimana ini? Apakah aku akan segera melahirkan?"

Dengan sigap ibuku turut membantu untuk membuatku tenang sambil memperhatikan tingkahku yang sedikit panik sambil bolak-balik kamar mandi. Tak lama, aku sedikit mempertanyakan kemudian mengikuti keputusan suami yang menghendaki kami semua pergi ke rumah sakit dini hari itu juga. 

Hendak diberi tindakan apa aku ini? Setibanya di rumah sakit, suami menggiringku ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Maternal. Berbaringlah aku disana bersama pendingin udara yang sedikit tak sopan karena membuatku menggigil. 

Induksi rupanya menjadi hal yang harus aku jalani karena pembukaan jalan lahir baru di tahap satu. Oh sedapnya panggilan cinta dari rahim itu. Jujur, jiwa dan pikiranku acak-acakan saat itu. Namun, jangan salah! Aku tetap optimis untuk berjuang melahirkan normal. Hingga akhirnya dokter memberikan kabar bahwa janinku mengalami kondisi tidak cukup baik, yaitu kekurangan oksigen. Kupasrahkan rahim ini untuk dirobek dokter yang menanganiku. 

"Bodohnya aku!", pikirku.

Tapi, aku mengkhawatirkan anakku. Aku tak ingin egois. Aku ingin dia selamat. Apa itu hanya sebuah alasan yang masih tak berdasar?

Entahlah. Singkatnya, tepat hari Minggu, 8 Oktober 2020, pukul 13.38 WIB anak pertamaku lahir dengan selamat melalui prosedur operasi caesar dengan berat badan 3,8 kg dan panjang 51 cm. 

Aku menitikkan air mata saat melihat bayiku dibersihkan oleh dokter anak. Setelah itu aku kembali menikmati rajutan benang jahit di perutku.


0 komentar:

Posting Komentar