Katanya aku harus terus berlari mengejar mimpi demi membalas budi. Tak ada kesempatan bagiku untuk menjelaskan apa mauku dan apa alasannya. Semua harus sesuai dengan ketentuan yang umum dijalani orang-orang. Tak ada yang paham, tak ada yang berusaha mengerti. Kini aku hanya bisa menunggu dan menjalani setiap detik kehidupan yang menghampiri.
Mengajar masih kugeluti dengan tulus ikhlas. Harapanku hanya satu, agar menjadi inspirasi. Meskipun kadang kurasa aku tak akan bisa menjalaninya sendiri. Kini berbeda tempat dan berbeda pula orang-orang yang aku temui. Kultur sosial yang tinggi seakan memaksaku untuk pergi, tapi untungnya tidak. Aku memilih berjalan maju untuk menghadapinya.
Tingkah polah anak-anak yang lugu ditengah hiruk pikuk kehidupan materialisme menjadi tantangan baru yang harus kulalui. Pola pikir orang tua yang berduit tapi nol dalam ilmu pengasuhan pun menambah beban masalah. Tapi bukankah semua penyakit ada obatnya. Meskipun penyakit jenis ini termasuk kebal serum sekalipun. Tak ada senyum, tak ada respect. Itulah perbedaan di lingkungan ini dengan lingkunganku yang sebelumnya. Tapi aku tak goyah. Mereka sama-sama manusia, dan aku respect pada anak-anak mereka. Sebagian anak-anak didikku ada yang menjadi korban pola asuh yang salah dari kedua orang tuanya, ada pula yang berasal dari yayasan kaum dhuafa. Semuanya tetaplah anak didikku yang aku sayangi.
Tak hanya ingin menambah jam terbang, aku bertekad untuk membimbing mereka sepenuh jiwa. Aku tak ingin hanya asal mengajar. Aku ingin menjadi guru yang mandiri dan penuh totalitas meskipun harus berjalan sendiri menapaki senja di Kota Wisata.
Minggu, 23 Juli 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar