Selasa, 19 Juli 2016
Pemandangan dari lantai dua rumah Ajarn Fa. |
Pagi itu aku niatkan untuk melihat kegiatan di PAUD milik Ajarn Fa. Kupersiapkan ponselku untuk memotret atau merekam aktifitas mereka. Tak lama keluar rumah, beberapa orang siswa menyapaku dengan kata "sabaydee" (baca: sabaydi) yang berarti "halo" dalam bahasa Laos. Dan tanpa kusangka ada satu anak lelaki kecil nan tampan mengucapkan "selamat datang". Aku tersenyum kemudian kuelus rambutnya. Tak asing memang jika para murid itu bisa mengucapkan "halo" dalam beberapa bahasa di negara ASEAN, karena sekolah mereka sengaja mengajarkannya. Aku sudah melihat dan merekam bagaimana mereka bernyanyi menggunakan 10 bahasa negara-negara ASEAN. Lagu yang liriknya sangat sederhana, yaitu ucapan-ucapan selamat yang lazim digunakan di masing-masing negara tersebut.
Pagi itu siswa-siswi PAUD melakukan rutinitas di pagi hari seperti biasa. Berbaris, berdoa, dan melakukan gerakan ringan dengan diiringi musik. Mereka menggunakan pakaian bebas. Pada hari-hari tertentu mereka menggunakan seragam. Mereka anak-anak yang sangat lucu. Usia mereka berkisar antara 2-6 tahun. Usai melihat aktifitas mereka sebelum masuk kelas, Ajarn Bouvanh menyapaku dan mengajakku masuk ke ruangannya untuk sarapan bersama. Ia memberiku dua kepal nasi ketan yang dibalut dadar telur. Sajiannya dengan cara ditusuk seperti sate. Sayang aku tidak sempat mengabadikan gambarnya. Tak berapa lama, sepupu Ajarn Fa mengetuk pintu ruangan untuk memberitahuku bahwa kakak perempuan dari Ajarn Fa sudah datang. Tiba waktunya untuk jalan-jalan. Aku pun pamit pada Ajarn Bouvanh .
Di depan monumen Patuxai. |
Masing-masing dari kami sibuk mengambil gambar. Cuaca siang itu sangat panas. Kami bermandikan keringat. Tapi sekali lagi aku tetap teduh dengan hijabku. *hehe. Aku beruntung bisa naik ke puncak monumen Patuxai. Meski ngeri karena takut ketinggian, tapi pemandangan indah yang terlihat dari atas gedung nampak begitu nyata terpampang manja. *yakelaaaaah Syahyena
Rabu, 20 Juli 2016
Saatnya kembali ke Thailand. Selasa malam aku sudah bersiap untuk tidur cepat agar bisa bangun lebih cepat pula untuk bersiap-siap berangkat pukul 6 pagi. Sore sebelum itu Ajarn Fa menawarkan padaku untuk pergi bersama ibunya yang juga akan pergi ke Nongkhai, Thailand. Beliau memberitahuku bahwa aku bisa ikut satu mobil dengan adik Ajarn Fa, ibunya, dan beberapa rekan Ajarn Fa. Mereka akan mengantarkanku menuju terminal bus Nongkhai untuk kemudian menaiki bus jurusan Nongkhai-Ubonracathani yang akan turun di Mahasarakham. Aku pun menyetujuinya. Namun nyatanya malam itu aku tak bisa tidur. Hingga pukul 2 pagi aku masih terjaga. Entah tepatnya pukul berapa aku tidur. Alarm pukul 4 membangunkan tidurku dan aku langsung bergegas menuju kamar mandi. Setelah semua hal yang harus aku lakukan di pagi hari selesai, aku turun ke lantai satu dengan membawa satu tas gendong dan satu totebag. Kulihat paman Ajarn Fa sedang berdiri di dapur untuk meyiapkan sesuatu. Aku menyapanya dengan kalimat "sabaydee" (halo; bahasa Laos). Ia pun tersenyum ramah seperti kali pertama aku bertemu dengannya pada hari kedua aku tinggal di rumah Ajarn Fa. Uncle Win, begitulah panggilan dariku untuknya. Seorang pria berambut putih dan pintar bahasa Inggris. Kami bagaikan cucu dan kakek.
Yang katanya teh dari sayuran. |
Uncle Win memberitahuku bahwa itu adalah teh dari sayuran yang dikeringkan. Dari sinilah hal lucu terjadi. Ia langsung mengambilkan cangkir dan sendok kecil. Setelah sedikit banyak menjelaskan tentang dedaunan kering tersebut, Uncle Win menaruh sejumput daun ungu kering tersebut kedalam cangkir lalu menuangkan air panas kedalamnya. Pada saat itu aku masih berusaha memancarkan wajah antusias untuk mencicipi teh karena aku berusaha menghargai usaha uncle Win yang begitu ramah menjamuku. Belum dingin minuman yang katanya teh sayuran tersebut, uncle Win menunjukkan satu toples lebih kecil yang berisi bubuk daun kering berwarna hijau. Ia kembali mengambil gelas beserta tatakannya. Ditaruhnya sejumput bubuk kering berwarna hijau itu dan tak lupa ia menuangkan air panas kedalam gelas. Inilah saatnya aku mulain mencicipi minuman pertama yang katanya teh dari sayuran. Uncle Win bilanh teh sayuran itu akan berwarna kuning, tapi nyatanya tidak. Air dari seduhan sayuran kering itu tetap bening meski telah kuaduk. Kucium aroma teh yang katanya dari sayuran itu, tapi kenapa perasaanku gak enak ya?! Kenapa baunya seperti rumput laut kering yang diseduh air! Aku mengumpulkan tenaga dalam untuk mencicipinya. *hahaha. Bagaimana tidak, mencium aromanya saja aku sudah tidak yakin bahwa itu adalah teh! Dan benar saja, setelah mencicipi rasanya aku langsung bergidik ingin muntah. *wkwkwk. Tapi jelaslah aku tetap menahannya dan berkata "wah... enak uncle!" dengan wajah penuh dusta. *hahaha.
Teh tersebut tetap kuminum perlahan dengan menggunakan sendok kecil sambil berharap ibu Ajarn Fa segera pulang dari olahraga paginya untuk kemudian mandi dan segera berangkat ke Nongkhai. Tapi hingga setengah cangkir teh kuminum, ibu Ajarn Fa belum datang juga. Malah sendok kecilku diganti Uncle Win dengan sendok yang lebih besar! *masyarakaaat. Kuselingi minum teh itu dengan menyantap kudapan yang terus menerus dikeluarkan dari lemari dapur oleh Uncle Win. Dari mulai wafer coklat, buah apel, pisang, sampai berbagai macam minuman kemasan! Untuk bekalku di perjalanan katanya. Aku pun hanya mengucapkan terima kasih pada Uncle Win.
Ini baru teh hijau :D |
Waktu yang dijanjikan pun tiba, lebih 30 menit malah. Aku masih harus menunggu ibu dan adik Ajarn Fa untuk bersiap-siap. Teh hijau pun sudah habis kuminum. "Nah ini baru teh, sedap!", batinku. Tak berapa lama Me pun sudah siap. Ajarn Fa pun datang ke dapur dengan kondisi baru bangun tidur dan kulihat ia masih mengantuk. Aku bertanya kabar dan memastikan apakah ia akan ikut pergi ke Nongkhai. Ajarn Fa mengeluh tak enak badan dan ia tidak ikut serta ke Nongkhai. Ajarn Fa kemudian melongok wadah kecil yang berada disampingku. "Bekal dari Uncle Win", sambarku tanpa ditanya. Dan tanpa diduga Ajarn Fa malah menambahkan isi kantong tersebut dengan beberapa bungkus makanan ringan.
Sambil menunggu ibu dan adik Ajarn Fa, aku berbincang dengan Uncle Win. Dari perbincangan tersebut aku baru tahu bahwa Uncle Win pernah tinggal dan bekerja di Amerika selama 15 tahun. Masa mudanya ia habiskan untuk merantau. Sebelumnya, ia tinggal di provinsi Korat yang berada di Thailand untuk sekolah dan tinggal bersama pamannya, kemudian ia pergi ke Amerika. Ia sendiri baru 6 tahun terakhir kembali dan tinggal di Laos. Hmmm pantas saja bahasa Inggrisnya lumayan! *hehe.
Tibalah saatnya aku berpamitan dengan keluarga Ajarn Fa. Usai berpamitan dengan uncle Win, aku berpelukan dengan Ajarn Fa dan juga keponakan perempuannya, Hingga aku naik ke mobil, entah kenapa uncle Win tak turut menghantarku. Selang beberapa menit sebelum berangkat, uncle Win muncul dan memberiku sebuah dompet kecil berisi uang logam baht Thailand. Aku pun mengucapkan terima kasih dan benar-benar antusias menerimanya. Semua persiapan sudah selesai, kami pun berangkat menuju Laos border dan terminal bus Nongkhai. Selamat tinggal Vientine, selamat tinggal Laos. Terima kasih telah memberikan kisah manis dalam hidupku. Manisnya suasana kekeluargaan dan manisnya toleransi dalam perbedaan.
Uncle Win saat memberiku dompet kecil. |
Tiket bus Nongkhai-Mahasarakham |
Suasana terminal bus Nongkhai. |
Saat bus yang aku tumpangi beranjak pergi. |
Selesai ditulis di Mahasarakham, 21-27 Juli 2016