8 Agustus 2015
Selepas shalat
dzuhur aku bergegas untuk berangkat ke stasiun Cirebon. Setelah berpamitan pada
emak, mamah, bibi dan suaminya, aku jalan barang satu menit untuk menghalau
ojek. Sesampainya di perempatan jalan raya, aku lekas menyebrang—tentunya
setelah tukang ojek itu aku beri uang atas jasanya mengantarkanku. Sebelum
hampir menghitam karena terik matahari, akhirnya mobil elf yang dinanti pun
datang dengan riangnya. *apakali
Belum usai kisahku
menuju stasiun. Karena setelah turun dari elf, aku harus nyambung angkot.
Ketemulah dengan D6. Naiklah aku. Taraaaam...alhamdulillah
dengan mengenakan satu tas gendong dan satu tas jinjing, satu jaket kampus,
satu kerudung lebar, tiga peniti, satu baju coklat, satu rok kodok krem, dan
satu rok hitam juga celana panjang, aku tiba di depan jalan stasiun Cirebon.
*gak segitunya kale
Aku punya waktu
sekitar satu jam setengah untuk menanti jodoh *eh maksudnya menanti kereta.
Namanya Krakatau, spesienya ekonomi, aku dipersilahkan duduk di hatinya dengan
nomor 3D. Awalnya jalan hidupku aku kira akan bahagia bersama Krakatau,
ternyata depan dan sampingku adalah bapak-bapak totok jawa. Aku bingung harus
bagaimana. Ya sudah aku baca majalah yang sebelumnya telah kubeli, kemudian
tidur, kemudian melihat pemandangan, kemudian berpikir keras untuk tetap enjoy
dengan perjalanan menuju rumah mertua.
*ya Alloh Yena sadar! Hehe. Ke stasiun Kediri maksudku.
Jam 3 pagi aku tiba
di Kediri, begitu dingin, sepi, sunyi, aku benci, pecahkan saja gelasnya!
*weleh kumat lagi!
Keluar stasiun, aku
bertemu seseorang. Eh, banyak orang deng.
Aku jalan, bingung, linglung karena baru bangun tidur, tak seimbang karena
terlalu lama duduk di kereta. Aku terus berjalan tanpa menyerah. Aku temukan
pintu keluar. Aku melewatinya dengan sedikit gugup. Aku berhasil!
Berhasil!*lebay
Setapak demi
setapak, tibalah aku di parkiran. Dalam hati aku bertanya-tanya, “mana orang yang akan menjemputku? Padahal
aku udah booking dia via online. Aku udah bayar via transfer.” Tiba-tiba terlintas
dalam pikiranku untuk balik lagi ke depan pintu keluar. *gubrak
Aku berdiri, aku
duduk, aku kebelet pipis. *weleh
Dalam dinginnya
pagi, dalam gelapnya dini hari, aku mengepalkan tangan. *dingin soalnya
Aku buka tab-ku, aku touch-touch, tiba-tiba sebuah kejadian menjakujubkan terjadi! Tab-ku berdering! Oh ternyata orang yang
akan menjemputku menelponku. Bodohnya lagi dia ada dihadapanku. Andai terang,
akan kulihat pula wajahnya yang nampak oneng
untuk mencari-cari—sama sepertiku. Hehe
Penampakan gendut,
berkumis, kebapak-an, berjaket hitam, dan bertopi. Ia tukang ojek yang
menjemputku. Eh bukan-bukan! Dia ngebonceng orang lain. Aku dibonceng mas-mas
yang lebih muda dibanding penampakan bapak-bapak yang tadi. *maaf ya, Pak!
Jalanlah motor
mas-mas itu. Kasihan. Beban hidupnya berat karena berat badanku dan dua tas
yang aku bawa. Haha
Tibalah aku di
Kampung Inggris. Sudah ada beberapa orang yang datang. Ramai, tak kenal, aku
senang, aku riang! Sayang, tak ada orang karena memang itu masih dini hari.
Paginya, aku
sarapan dengan kondisi belum mandi. Aku mendaftar ulang, masih dengan kondisi
yang sama, belum mandi. Aku diantar ke camp
8, lalu mandi. Aku tidur, karena udah mandi. Aku ngga shalat, karena lagi
‘halangan’. Aku makan, karena udah bangun tidur. Aku nyewa sepeda, karena aku
perlu. Aku pulang lagi ke camp,
karena mau ngapain di luar. *ckck
Apakah disana aku
sendiri? Tidak. Aku makan dan menyewa sepeda dengan teh Tila, orang Bandung.
Bagaimana kisahku
selanjutnya?