Jumat, 10 Februari 2017

Tiga Bulan Lagi


Bulan Februari sudah 9 hari membersamai hari-hariku. Tepat 10 hari yang lalu sidang skripsi aku lalui. Akhirnya semua terasa lebih ringan. Beban tanggung jawabku untuk menyelesaikan pendidikan formal sedikit berkurang, masih ada impian besar yang harus aku wujudkan. Menjadi manusia penghasil finansial memang tak bisa dipungkiri oleh setiap orang. Yang berbeda adalah tuntutan dari tiap-tiap lingkungan. Ah, rasanya jika hanya demi gaya hidup, itu bukan aku. Hanya tuntutan keluarga yang memang sangat besar tekanannya yang aku rasakan. Tapi itu bukan masalah, aku meniatkannya sebagai salah satu pemenuhan dari 10 syarah muwashafat. Lebih mudahnya 10 karakter ideal bagi seorang muslim. Salah satu dari 10 itu adalah mandiri dalam penghasilan.
Istilah “manusia penghasil finansial” memang terlalu kasar. Lebih tepatnya mandiri dalam penghasilan, begitu katanya. Kita tinggal meniatkan aktifitas bekerja yang kita lakukan sebagai ibadah agar kita bisa sedekah, memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga tanpa meminta-minta, dan melakukan hal-hal lainnya yang bermanfaat. Terkait hal itu, istilah “bimbang” memang sangat tepat aku gunakan untuk menggambarkan kondisiku sekarang. Namun semua itu inshaAlloh dikalahkan dengan niatku untuk terus semangat, berusaha mewujudkan cita-cita, terus produktif, dan terus memperbaiki diri.
Entah apa cita-citaku yang paling permanen. Pasalnya, hal itu terus berubah-ubah hingga saat ini. Terkadang, aku berpikir untuk menjadi dosen sekaligus pedagang. Menjadi guru dan pegawai bank syariah juga pernah mampir dalam ruang angan-anganku. Bahkan, angan-angan untuk menjadi ratu dalam singgasana hati seseorang pun kadang hadir dalam list cita-citaku. Ngeri sekali. Hihihi. Sekali lagi, entah mana yang bisa disebut cita-cita permanen. Hingga detik ini semua hal yang aku pikirkan terus berubah dikarenakan banyak faktor. Ya itu faktor finansial, ego, dan passion. Keluargaku menuntut pemenuhan kebutuhan finansial. Ya wajarlah, mungkin mereka lelah dan ingin menikmati masa senja dengan penghasilan yang diterima dari anak atau keponakannya. Dan jika berbicara ego, aku masih ingin belajar, belajar, dan belajar. Tapi, belajar kan lagi-lagi butuh dana. Dananya dari mana? Kan orang tua sudah lama tidak menjamin toh? Dan sebagai anak pastinya aku tahu diri-lah, usia sudah segini masa mau minta terus. Oalah. Nah, terkait passion. Passion-ku dimana juga toh aku sampai saat ini belum tahu. Tapi so far menjadi pendidik itu menyenangkan. Tapi aku ya inginnya lebih gitu loh. Aku maunya waktuku ini tidak full hanya untuk di sekolah. Aku ingin menikmati mengikuti kegiatan organisasi dan bersosialisasi dengan situasi-situasi dan tempat-tempat yang baru. Lalu? (*mikir) J
Dari serentetan hal itu, fakta bahwa kurang lebih 3 bulan lagi aku akan berhenti mengajar di TK lalu kemudian pindah ke kota lain menjadi  fokus terdekat yang inshaAlloh akan segera terealisasi. Artinya, kebersamaanku dengan murid-muridku di TK dan les privat akan segera berakhir. Sedih sudah pasti, tapi live must go on, bukan?
Kenangan selama kurang lebih 4,5 tahun di kota Serang pun akan segera terangkum. Berat rasanya meninggalkan sejuta kenangan di kota sate bandeng ini. Suka duka, canda tawa, perjuangan dan kenangan, serta jejak-jejak kisah lainnya terukir disini. Tanah, udara, air, makanan, dan orang-orangnya mustahil untuk dilupakan. Dulu, tak pernah terbayangkan untuk tinggal di Serang, kota yang gersang tanpa pegunungan. Namun sekarang, sulit membayangkan jika aku harus meninggalkan kota gersang nan panas ini.
Semoga jejak-jejak langkahku memberi arti bagi “batu bata” peradaban di masa depan. Semoga.

Serang, 9 Februari 2017

0 komentar:

Posting Komentar