Sakit itu ketika mendengarkan kalimat, “Ghalin sebel sama Bu
Yena!”.
Ya Rab... apa salahku?
Aku tidak memukulnya, aku tidak memarahinya, aku selalu
mengalah untuk menjadikannya yang pertama di kelas ketika tak ada cara lain
untuk menghentikan ngambeknya. Aku
selalu berusaha menjelaskan setiap aturan permainan di kelas, aku selalu
berusaha adil pada anak-anak didikku, aku selalu berusaha menjadikan mereka
teman, aku berusaha mencurahkan perhatianku kepada mereka sama rata,
aku sangat menyayangi mereka. Aku
tidak ingin mereka benci padaku. Tidak. Bukan. Bukan mereka yang membenciku. Hanya
Ghalin. Ya. Ghalin.
Ada apa denganmu Ghalin? What should I do for you?
Kenapa kamu selalu ngambek
sama bu Yena? Ibu sudah berusaha adil. Ibu berusaha untuk tidak pilih kasih.
Tapi kenapa selalu Ghalin yang minta paling banyak uang-uang-an yang sudah Bu Yena bagi rata? Kenapa selalu
Ghalin yang minta jadi urutan pertama padahal kita sudah sepakat dengan aturan
permainan arisan? Kalian mendapatkan nomor urut untuk menulis di papan tulis
setelah ibu kocok nomor-nomor itu. Ghalin bilang sama bu Yena kalau Ghalin
ngerti aturannya. Ghalin dapat hasil kocokan dengan nomor enam, Refan dapat nomor
satu. Tapi kenapa Ghalin masih ngotot ingin jadi yang pertama. Sekali lagi,
bukankah kita sudah sepakat untuk mengikuti aturan permainan arisan ini?
Ibu sedih Ghalin.
Kenapa Ghalin selalu ngadu sama mamih? Kenapa Ghalin bilang
sama mamih kalau Ghalin gak diajakin main sama bu Yena? Padahal waktu itu kita
main bareng-bareng? Kenapa Ghalin sayang?
Bu Yena nggak ngerti apa maunya Ghalin. Bu yena nggak ngerti
apa yang ada di dalam hati Ghalin. Maafin ibu ya, Nak. Maaf kalau ibu punya salah sama
Ghalin. Bu Yena sayang sama Ghalin, sayang sama kalian semua.
0 komentar:
Posting Komentar