Provinsi
“Jawara”, sebagian kotanya saat ini sedang diselimuti hujan. Penghuninya
kedinginan dan enggan keluar kandang. Sekalinya keluar mereka akan basah kuyup,
kecuali jika mereka memiliki payung. Para pendatang dari luar kota yang
sebagian besar bentang wilayahnya didominasi oleh pegunungan pasti melohok menyaksikan kabut menyelinap
tanpa ijin masuk ke sebagian kawasan di provinsi “jawara”.
Seharian
penuh matahari bermusuhan dengan awan. Awan menang dan tak mengijinkan matahari
menampakkan sinarnya di sebagian kawasan “jawara” ini. Pakaian para penghuninya
terpaksa tetap di cuci walau akhirnya bau apak karena tak kering sehari.
Penghuni pasrah dan berdiam diri di kandang.
Tak
semuanya para penghuni kawasan “jawara” memasung diri akibat permusuhan awan
dan matahari. Tukang becak, tukang ojek, tukang jamu, tukang batagor, tukang
bangunan, dan tukang gosip yang nekat, tetap harus keluar untuk menjalani
rutinitasnya. Bahagianya para penghuni kawasan “jawara” yang menjadi mahasiswa,
saat ini sedang musim liburan, walaupun tak semuanya. Tapi yang jelas hampir
sebagian besar mahasiswa di perguruan tinggi negeri menjalani masa-masa
menyenangkan untuk dapat bersantai, tentunya setelah urusan FRS beres. Tukang
es juga sama. Ketika hujan menyelimutinya seharian penuh, tukang es yang
seharusnya keluar kandang untuk mencari nafkah malah diberi libur tanpa
diminta. Hehe
Provinsi
“jawara”. Tak pernah terbayangkan sebelumnya untuk aku tinggal dan kuliah
disini. Di tempat yang terkenal akan para jawaranya. Sampai-sampai tulisan di
belakang jaket salah satu komisariat organisasi pergerakan mahasiswa muslim
menggunakan jargon “Jawara Peradaban”. Kereeen.. Hehe
Pertama kali
kedatanganku ke provinsi yang memisahkan diri dari wilayah Jawa Barat ini,
bersama bapak, dan itu nyasar!
Tak apalah.
Kujadikan pengalaman unik nan berkesan. Selama perjalan menuju ke salah satu
kotanya, kuhabiskan waktu bersama bapak. Hal itu sangat jarang sekali aku
lakukan. Walaupun sangat menyebalkan ketika harus mengobrol dengan bapak yang
ujung-ujungnya terjadi perdebatan karena bapakku yang sama keras kepalanya
denganku, tapi aku sangat bersyukur dan menikmati perjalanan kala itu.
Spanduk
persegi panjang yang mempromosikan penerimaan mahasiswa baru di salah satu
universitas swasta menjadi bacaan “selamat datang” bagiku. Disusul oleh deretan
spanduk serupa yang terpampang sejauh mata memandang pinggiran jalan selepas
keluar tol. Selamat datang di Kota Serang!
Aku dan bapak
masih kebingungan mencari alamat Universitas Pendidikan Indonesia. Banyak yang
tahu, tapi kami tak tahu banyak. Alhasil kami nyasar hingga arah menuju
Pandeglang setelah semua petunjuk akurat yang mungkin terlalu bingung untuk aku
dan bapak pahami. Hal itu karena terlalu banyak belokan, keluar masuk kawasan,
dan warna angkot yang berbeda dalam satu trayek, yang setelah kutahu bahwa di
Serang angkotnya tak mengenal trayek. Semua jurusan penumpang di-iya-kan
semaunya oleh Pak Supir. Luar biasa.....semrawutnya. Hehe
Sedikit
memahami kehidupan di Kota Serang, kucari dan akhirnya kutemukan, kampus UPI dan
tempat tinggal sementara untukku, Pondok Pesantren Al Mawadah. Benar-benar
tempat tinggal yang sementara bagiku, karena hanya dua bulan aku tinggal
disana. Aku dipindahkan paman dan bibiku ke kosan yang keadaannya sangat
membuatku betah hingga saat ini. Inilah kandangku di provinsi “jawara”. Kosan
Three-G.
Tempat yang
sebelumnya tidak pernah aku bayangkan untuk aku tinggali. Tempat yang jauh
lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Jelas saja, biaya sewa yang jauh lebih
mahal sudah pasti membedakan fasilitas yang diberikan. Kamar mandi untuk
tiap-tiap kamar tersedia sangat bersih. Ukuran kamarku yang lebih luas dan view jendela yang strategis, karena
menghadap langsung ke arah matahari terbit, membuat siapa saja yang menghuni
kamar ini merasa nyaman. Berbicara mengenai ukuran kamarku, sering orang yang
pertama kali melihat kamarku berkata “kamar
ini luas ya”. Entahlah, tapi hampir setiap orang selalu mengatakan hal
serupa. Mereka membandingkan ukuran kamarku dengan kamar lain di kosan ini. Aku
hanya bisa tersenyum dan bersyukur karena bisa mendapat kesempatan untuk datang
pertama kali dan memilih kamar ini lebih dulu.
Suasana kosan
yang cenderung sepi membuatku nyaman. Empat kamar di lantai dua, semuanya telah
penuh oleh penyewa. Ya, kamar kos-ku berada di lantai dua. Setiap hendak
kemana-mana aku selalu naik turun tangga. Tadinya aku pikir penderitaanku di
pondok yang harus naik turun tangga juga, akan berakhir. Ternyata, tidak!
Tapi aku
tetap bersyukur. Karena jarak setiap anak tangga di kosanku yang sekarang ini
lebih pendek. Aku tak perlu terlalu bersusah payah untuk memijaknya. Berbeda
dengan anak tangga di pondok yang jaraknya jauh-jauh. Untuk naik turunnya saja
tidak bisa dengan berlari kecil. Harus ekstra hati-hati karena aku pernah satu
kali mengalami jatuh di tangga pondok ketika hendak berangkat kuliah. Alhasil
buku Landasan Pendidikan yang umurnya belum sampai satu minggu harus sobek
sampulnya, kakiku biru-biru, dan tentunya pakaianku kotor sehingga aku harus
balik lagi untuk dandan ke kampus. Tapi saat ini, di sini, di kosan Three-G,
aku bisa naik turun tangga sekaligus melatih nafas dengan berimprovisasi
melakukan lari-lari kecil setiap menyusurinya. Hehe
Aku sangat
berterimakasih kepada keluarga dan saudara-saudaraku. Karena jasa mereka aku
bisa mengenyam pendidikan dengan layak hingga saat ini. Segala fasilitas dan
dukungan moril sangatlah lebih dari cukup bagiku. Jika tanpa mereka, aku takkan
bisa melanjutkan kuliah seperti saat sekarang ini. Tanpa mereka mungkin aku
takkan pernah melancong ke berbagai daerah. Mungkin aku tak pernah tahu seperti
apa provinsi “jawara”.
Minggu, 07 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar