Minggu, 21 Juli 2013

PROVINSI “JAWARA”


            Provinsi “Jawara”, sebagian kotanya saat ini sedang diselimuti hujan. Penghuninya kedinginan dan enggan keluar kandang. Sekalinya keluar mereka akan basah kuyup, kecuali jika mereka memiliki payung. Para pendatang dari luar kota yang sebagian besar bentang wilayahnya didominasi oleh pegunungan pasti melohok menyaksikan kabut menyelinap tanpa ijin masuk ke sebagian kawasan di provinsi “jawara”.
Seharian penuh matahari bermusuhan dengan awan. Awan menang dan tak mengijinkan matahari menampakkan sinarnya di sebagian kawasan “jawara” ini. Pakaian para penghuninya terpaksa tetap di cuci walau akhirnya bau apak karena tak kering sehari. Penghuni pasrah dan berdiam diri di kandang.
Tak semuanya para penghuni kawasan “jawara” memasung diri akibat permusuhan awan dan matahari. Tukang becak, tukang ojek, tukang jamu, tukang batagor, tukang bangunan, dan tukang gosip yang nekat, tetap harus keluar untuk menjalani rutinitasnya. Bahagianya para penghuni kawasan “jawara” yang menjadi mahasiswa, saat ini sedang musim liburan, walaupun tak semuanya. Tapi yang jelas hampir sebagian besar mahasiswa di perguruan tinggi negeri menjalani masa-masa menyenangkan untuk dapat bersantai, tentunya setelah urusan FRS beres. Tukang es juga sama. Ketika hujan menyelimutinya seharian penuh, tukang es yang seharusnya keluar kandang untuk mencari nafkah malah diberi libur tanpa diminta. Hehe
Provinsi “jawara”. Tak pernah terbayangkan sebelumnya untuk aku tinggal dan kuliah disini. Di tempat yang terkenal akan para jawaranya. Sampai-sampai tulisan di belakang jaket salah satu komisariat organisasi pergerakan mahasiswa muslim menggunakan jargon “Jawara Peradaban”. Kereeen.. Hehe
Pertama kali kedatanganku ke provinsi yang memisahkan diri dari wilayah Jawa Barat ini, bersama bapak, dan itu nyasar!
Tak apalah. Kujadikan pengalaman unik nan berkesan. Selama perjalan menuju ke salah satu kotanya, kuhabiskan waktu bersama bapak. Hal itu sangat jarang sekali aku lakukan. Walaupun sangat menyebalkan ketika harus mengobrol dengan bapak yang ujung-ujungnya terjadi perdebatan karena bapakku yang sama keras kepalanya denganku, tapi aku sangat bersyukur dan menikmati perjalanan kala itu.
Spanduk persegi panjang yang mempromosikan penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas swasta menjadi bacaan “selamat datang” bagiku. Disusul oleh deretan spanduk serupa yang terpampang sejauh mata memandang pinggiran jalan selepas keluar tol. Selamat datang di Kota Serang!
Aku dan bapak masih kebingungan mencari alamat Universitas Pendidikan Indonesia. Banyak yang tahu, tapi kami tak tahu banyak. Alhasil kami nyasar hingga arah menuju Pandeglang setelah semua petunjuk akurat yang mungkin terlalu bingung untuk aku dan bapak pahami. Hal itu karena terlalu banyak belokan, keluar masuk kawasan, dan warna angkot yang berbeda dalam satu trayek, yang setelah kutahu bahwa di Serang angkotnya tak mengenal trayek. Semua jurusan penumpang di-iya-kan semaunya oleh Pak Supir. Luar biasa.....semrawutnya. Hehe
Sedikit memahami kehidupan di Kota Serang, kucari dan akhirnya kutemukan, kampus UPI dan tempat tinggal sementara untukku, Pondok Pesantren Al Mawadah. Benar-benar tempat tinggal yang sementara bagiku, karena hanya dua bulan aku tinggal disana. Aku dipindahkan paman dan bibiku ke kosan yang keadaannya sangat membuatku betah hingga saat ini. Inilah kandangku di provinsi “jawara”. Kosan Three-G.
Tempat yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan untuk aku tinggali. Tempat yang jauh lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Jelas saja, biaya sewa yang jauh lebih mahal sudah pasti membedakan fasilitas yang diberikan. Kamar mandi untuk tiap-tiap kamar tersedia sangat bersih. Ukuran kamarku yang lebih luas dan view jendela yang strategis, karena menghadap langsung ke arah matahari terbit, membuat siapa saja yang menghuni kamar ini merasa nyaman. Berbicara mengenai ukuran kamarku, sering orang yang pertama kali melihat kamarku berkata “kamar ini luas ya”. Entahlah, tapi hampir setiap orang selalu mengatakan hal serupa. Mereka membandingkan ukuran kamarku dengan kamar lain di kosan ini. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur karena bisa mendapat kesempatan untuk datang pertama kali dan memilih kamar ini lebih dulu.
Suasana kosan yang cenderung sepi membuatku nyaman. Empat kamar di lantai dua, semuanya telah penuh oleh penyewa. Ya, kamar kos-ku berada di lantai dua. Setiap hendak kemana-mana aku selalu naik turun tangga. Tadinya aku pikir penderitaanku di pondok yang harus naik turun tangga juga, akan berakhir. Ternyata, tidak!
Tapi aku tetap bersyukur. Karena jarak setiap anak tangga di kosanku yang sekarang ini lebih pendek. Aku tak perlu terlalu bersusah payah untuk memijaknya. Berbeda dengan anak tangga di pondok yang jaraknya jauh-jauh. Untuk naik turunnya saja tidak bisa dengan berlari kecil. Harus ekstra hati-hati karena aku pernah satu kali mengalami jatuh di tangga pondok ketika hendak berangkat kuliah. Alhasil buku Landasan Pendidikan yang umurnya belum sampai satu minggu harus sobek sampulnya, kakiku biru-biru, dan tentunya pakaianku kotor sehingga aku harus balik lagi untuk dandan ke kampus. Tapi saat ini, di sini, di kosan Three-G, aku bisa naik turun tangga sekaligus melatih nafas dengan berimprovisasi melakukan lari-lari kecil setiap menyusurinya. Hehe
Aku sangat berterimakasih kepada keluarga dan saudara-saudaraku. Karena jasa mereka aku bisa mengenyam pendidikan dengan layak hingga saat ini. Segala fasilitas dan dukungan moril sangatlah lebih dari cukup bagiku. Jika tanpa mereka, aku takkan bisa melanjutkan kuliah seperti saat sekarang ini. Tanpa mereka mungkin aku takkan pernah melancong ke berbagai daerah. Mungkin aku tak pernah tahu seperti apa provinsi “jawara”.

Minggu, 07 Juli 2013

0 komentar:

Posting Komentar