Malam Selasa lalu nafasnya masih terengah-engah ketika harus mengayuh sepeda selepas shalat Maghrib. Masker kain berwarna coklat menutup hidung dan mulutnya. Tas punggung berwarna serupa tak pernah absen untuk menemani aktivitasnya mengajar privat Senin petang itu. Tetesan peluh bertambah karena jaket abu-abu bergaris kuning membungkus tubuhnya. Pikirannya masih dikelilingi bayang-bayang waktu yang tersisa untuk bisa berjumpa dengan Danish dan Danisha. Dua anak kembar kelas 4 SD yang kurang lebih selama 7 bulan ini dekat dengannya. Tak hanya sekedar hubungan guru privat dan murid, ia berusaha untuk menjadi teman bagi muridnya tersebut.
Hanya butuh waktu kurang dari 15
menit dari kontrakan untuk sampai ke perumahan tempat tinggal si kembar. Lokasi
yang tak bisa dibilang dekat, tapi juga tak terlalu jauh sering membuatnya
mengeluh. Ditambah lagi waktu mengajar yang terjadwal setiap petang menjelang
malam, dua kali seminggu, Senin dan Rabu, seringkali membuat dirinya sendiri
khawatir jikalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Maklum, setangguh
apapun dirinya, ia hanya seorang perempuan yang merantau jauh dari keluarga. Ia
anak satu-satunya pula, harapan terbesar keluarga ada di pundaknya. Otomatis ia
harus pandai-pandai menjaga diri.
Serentetan hal tersebut ia jadikan
alasan untuk berhenti mengajar privat per 10 April nanti. Awalnya ia mengira
semua akan terasa mudah dan ringan, namun keceriaan dan kalimat lugu dari kedua
muridnya itu seketika memberatkan hati. Danish dan Danisha dengan polosnya
berujar jika mereka tak ingin ditinggalkan oleh guru privatnya itu. Katanya,
mereka masih ingin diajari bertahun-tahun lagi. Entah sungguh-sungguh atau
hanya sekedar lelucon, tapi sikap Danish yang merengek sambil membanting pulpen
dan menendang-nendangkan kaki padanya ketika disinggung jika jadwal pertemuan
mereka hanya tinggal beberapa kali lagi membuatnya tampak yakin bahwa mereka
tak mau ditinggal. Pun Danisha, meski tak merengek seperti Danish, tapi
pertanyaan “kenapa sih ibu harus ninggalin kita? Nanti ibu nemuin kita lagi
ngga?” berhasil meninggalkan goresan kecil yang akan selalu
terngiang-ngiang dalam kenangannya.
Meski penghasilannya akan
berkurang, tapi keputusan yang ia buat sudah bulat: BERHENTI MENGAJAR PRIVAT.
Hal lain yang harus ia sadari ialah bahwa fisik dan psikisnya memiliki hak, dan
itu sudah saatnya ia penuhi. Ada juga lembaran baru yang sudah menanti untuk ia
isi. Berliter tinta telah siap untuk dituangkan dalam ceritanya. Selamat
menanti wahai pemimpi!
Serang, 31 Maret 2017