Bulan Februari sudah 9 hari membersamai hari-hariku. Tepat 10 hari yang lalu sidang skripsi aku lalui. Akhirnya semua terasa lebih ringan. Beban tanggung jawabku untuk menyelesaikan pendidikan formal sedikit berkurang, masih ada impian besar yang harus aku wujudkan. Menjadi manusia penghasil finansial memang tak bisa dipungkiri oleh setiap orang. Yang berbeda adalah tuntutan dari tiap-tiap lingkungan. Ah, rasanya jika hanya demi gaya hidup, itu bukan aku. Hanya tuntutan keluarga yang memang sangat besar tekanannya yang aku rasakan. Tapi itu bukan masalah, aku meniatkannya sebagai salah satu pemenuhan dari 10 syarah muwashafat. Lebih mudahnya 10 karakter ideal bagi seorang muslim. Salah satu dari 10 itu adalah mandiri dalam penghasilan.
Istilah
“manusia penghasil finansial” memang terlalu kasar. Lebih tepatnya mandiri
dalam penghasilan, begitu katanya. Kita tinggal meniatkan aktifitas bekerja
yang kita lakukan sebagai ibadah agar kita bisa sedekah, memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarga tanpa meminta-minta, dan melakukan hal-hal lainnya yang
bermanfaat. Terkait hal itu, istilah “bimbang” memang sangat tepat aku gunakan
untuk menggambarkan kondisiku sekarang. Namun semua itu inshaAlloh dikalahkan
dengan niatku untuk terus semangat, berusaha mewujudkan cita-cita, terus
produktif, dan terus memperbaiki diri.
Entah
apa cita-citaku yang paling permanen. Pasalnya, hal itu terus berubah-ubah
hingga saat ini. Terkadang, aku berpikir untuk menjadi dosen sekaligus
pedagang. Menjadi guru dan pegawai bank syariah juga pernah mampir dalam ruang
angan-anganku. Bahkan, angan-angan untuk menjadi ratu dalam singgasana hati
seseorang pun kadang hadir dalam list cita-citaku. Ngeri sekali. Hihihi.
Sekali lagi, entah mana yang bisa disebut cita-cita permanen. Hingga detik
ini semua hal yang aku pikirkan terus berubah dikarenakan banyak faktor. Ya itu
faktor finansial, ego, dan passion. Keluargaku menuntut pemenuhan
kebutuhan finansial. Ya wajarlah, mungkin mereka lelah dan ingin menikmati masa
senja dengan penghasilan yang diterima dari anak atau keponakannya. Dan jika
berbicara ego, aku masih ingin belajar, belajar, dan belajar. Tapi, belajar kan
lagi-lagi butuh dana. Dananya dari mana? Kan orang tua sudah lama tidak
menjamin toh? Dan sebagai anak pastinya aku tahu diri-lah, usia
sudah segini masa mau minta terus. Oalah. Nah, terkait passion.
Passion-ku dimana juga toh aku sampai saat ini belum tahu. Tapi so
far menjadi pendidik itu menyenangkan. Tapi aku ya inginnya lebih gitu
loh. Aku maunya waktuku ini tidak full hanya untuk di sekolah. Aku
ingin menikmati mengikuti kegiatan organisasi dan bersosialisasi dengan
situasi-situasi dan tempat-tempat yang baru. Lalu? (*mikir) J
Dari
serentetan hal itu, fakta bahwa kurang lebih 3 bulan lagi aku akan berhenti
mengajar di TK lalu kemudian pindah ke kota lain menjadi fokus terdekat yang inshaAlloh akan
segera terealisasi. Artinya, kebersamaanku dengan murid-muridku di TK dan les
privat akan segera berakhir. Sedih sudah pasti, tapi live must go on,
bukan?
Kenangan
selama kurang lebih 4,5 tahun di kota Serang pun akan segera terangkum. Berat
rasanya meninggalkan sejuta kenangan di kota sate bandeng ini. Suka duka, canda
tawa, perjuangan dan kenangan, serta jejak-jejak kisah lainnya terukir disini.
Tanah, udara, air, makanan, dan orang-orangnya mustahil untuk dilupakan. Dulu,
tak pernah terbayangkan untuk tinggal di Serang, kota yang gersang tanpa
pegunungan. Namun sekarang, sulit membayangkan jika aku harus meninggalkan kota
gersang nan panas ini.
Semoga
jejak-jejak langkahku memberi arti bagi “batu bata” peradaban di masa depan.
Semoga.
Serang,
9 Februari 2017