Setengah tahap akhir dari
semester 9 telah aku selesaikan. Berkas-berkas persyaratan untuk sidang skripsi
telah aku kumpulkan dengan penuh perjuangan. Sampai dana pendaftaran sidang pun
aku kumpulkan dengan penuh perjuangan. Banyak sekali berkas-berkas yang harus
aku kumpulkan, mulai dari fotokopi ijazah SMA yang telah dilegalisir, fotokopi
akte kelahiran, Kartu Hasil Studi (KHS), Kartu Rencana Studi (KRS), transkrip
nilai, sertifikat pramuka, kwitansi pembayaran iuran kemahasiswaan, surat
keterangan bebas meminjam buku dari perputakaan, surat keterangan lulus uji
turnitin, dan masih banyak lagi. Hah cerita surat, jadi inget ada satu surat
yang saat pengurusannya itu ribetnya minta ampun! Surat keterangan lulus uji
turnitin itu! Kalo inget pas aku dilempar sana-sini rasanya gemes juga. Tapi
yasudahlah, toh perjuangan itu telah usai, cukup dijadikan pelajaran
untuk bersabar dan bagaimana caranya menghormati dan menghargai orang lain,
terutama waktunya.
Jadi tepat tanggal 20 Januari
kemarin aku daftar sidang skripsi. Tanggal 21-nya aku langsung di-“sidang”.
Pengujinya lebih menegangkan dibandingkan dosen-dosen di kampusku. Materinya
juga sangat luar biasa, bukan materi yang berhubungan dengan pendidikan anak
usia dini. Haha ckck. Iya, aku di-“sidang” pamanku sendiri J
Berawal dari hal urgent yang
bingung jika aku putuskan sendiri, maka dari itu aku menyengaja pergi ke rumah
pamanku di Jakarta. Setibanya di rumah paman, aku shalat magrib, mandi, makan
malam, dan shalat Isya. Usai itu, aku benar-benar mengumpulkan keberanianku
untu bercerita pada paman dan istrinya. Bergetar tenggorokanku, sesak tiba-tiba
karena menahan tawa, haru, dan kebingungan. Kurang lebih satu jam setengah aku
di-“sidang”. Intinya, ya I must being fighter for my life.
But, if you want to know, I
never want this part. I just wanna being child, when everything run away like
movie, they are not true. I can laugh and smile every time. I never felt every
one left me away, I hadn’t made choosen.
Serang, 25 Januari
2017