Tiga hari sudah kita berpisah. Terminal 2F itu menjadi saksi bisu perpisahan kita. Kita yang bertemu, selalu bersama, kemudian berpisah. Andai waktu memberikan kesempatannya lebih dari 6 hari, pasti akan lebih banyak hal yang bisa kita pelajari.
Sedih itu masih ada. Tapi aku paham bahwa perjalanan hidup ini bagaikan roda, tak boleh berhenti, karena nantinya hidup menjadi tak berarti.
Sebelumnya aku tak pernah membayangkan persahabatan yang seperti ini. Diawali dengan keberangkatan salah satu alumni kampus untuk S2 di Thailand, kemudian diriku yang turut menyusul dengan program kegiatan yang berbeda, kita saling jumpa dengan guru yang sama. Hingga akhirnya kalian jauh datang dari sana ke Indonesia. Sungguh takkan pernah terlupa.
Kami antusias menyambut kalian yang jauh-jauh datang dari Thailand. Acara penting itu pun dimulai. Detik-detiknya terasa menegangkan. Namun semua berlalu begitu cepat, hingga akhirnya persinggahan di tanah jawara harus usai dan tanah legenda menjadi tujuan jalan-jalan.
Entah kesan apa yang ada di dalam hati kalian. Tapi kami sungguh senang, atau mungkin hanya aku?
Canda tawa yang selalu mengiringi setiap perjalanan, amarah dan haru pun seakan hanya menjadi bumbu.
Kami senang, kami riang. Dan kini, kami merindukan kalian. Atau... hanya aku?
Kamis, 20 Oktober 2016
Jumat, 07 Oktober 2016
Mengamati Perkembangan Jaman di Pasar Lama
Saat ini, ikan, sayuran, dan
buah-buahan milik mereka masih segar. Tak banyak yang bisa aku lakukan, selain
duduk di depan ruko yang sudah tutup karena petang menjelang. Aku terjebak
hujan.
Seorang ibu paruh baya berbusana
rapih menghampiriku dan duduk disampingku.
“Hendak kembali ke kos”, jawabku
ketika beliau bertanya tujuan perjalananku.
“Ke kondangan, neng”, balasnya
selepas pertanyaan terlontar dariku terkait hal serupa seperti pertanyaan
beliau di awal.
Saat itu juga pandanganku langsung
menyisir jajaran lapak para pedagang di Pasar Lama. Tepat di salah satu ruko,
sebelum perempatan, berdiri cukup megah tenda hajatan. Pinggiran jalan yang
dijadikan tempat prasmanan dan pelaminan dipastikan tergenang air hujan yang
menyumbat. Alasan itulah yang sekiranya dipilih Si ibu sebagai pembenar bahwa
ia harus turut berhenti sejenak dan duduk disampingku.
Tak jauh dari tenda hajatan, tuan
pemilik lapak arang, kelapa muda, dan ikan secara serentak kulihat menggelar terpal.
Pun pembeli, mereka berebut ‘terpal besi’ di ruko milik ‘Si Cici’ dan ‘Si
Koko’. Hampir sebagian besar empunya ruko di Pasar Lama memang ‘Si Koko’. ‘Si Koko’ harus rela
berbagi lahan depan ruko untuk lapak dagang orang-orang yang berjuang membeli sembako.
“Beruntung”, batinku. Aku hanya
harus sesekali menikmati hujan yang datang tak bilang-bilang. Aku juga hanya
harus sesekali saja merasakan terpaan angin kencang, basahnya air hujan, dan
petir yang berdendang. Itu pun hanya karena aku yang masih mengayuh sepeda di
tengah perjalanan pulang dari kegiatan melingkar. Tak seperti mereka yang sudah
lama mengadu nasib di Pasar Lama. Mereka terus mengikuti jaman. Tapi sayang
seribu sayang, jaman berubah seiring berjalannya waktu. Jaman sepertinya tak
bisa menjanjikan apa-apa di Pasar Lama. Karena tak lama lagi jaman akan naik
dan terus berubah.
Ah, jaman. Aku hanya pendatang di
tanah gersang. Tapi gersangnya tanah ini menempaku agar terus membara seperti
arang. Wahai arang dan Pasar Lama, terima kasih telah mengajariku untuk terus
memiliki rasa syukur dan semangat yang membara.
Pasar Lama, 7 Oktober 2016
Ditulis
saat berteduh di ruko Pasar Lama
Selasa, 04 Oktober 2016
CATATAN HARIAN SEORANG GURU TK: KECIPRATAN TINTA SPIDOL
Rutinitasku di awal
pekan ini berjalan seperti biasanya. Pagi-pagi pergi ke TK untuk mengajar, sore
harinya rapat persiapan seminar internasional di kampus, dan kini saat malam
tiba, aku berusaha fokus mengerjakan skripsi. Ada beberapa hal yang membuatku semakin
tidak bersemangat hari ini. Pertama, seragam yang aku gunakan untuk mengajar terasa
tidak nyaman. Padahal dari malam sebelumnya aku sudah menyiapkan rok, kemeja,
dan kerudung yang akan aku gunakan. Warna yang aku pilih antara rok, kemeja,
dan kerudung sudah pas pikirku. Ternyata salah. Rok dan kerudung sama-sama
berwarna abu, namun berbeda macam abu-nya. Jadilah aku tetap berangkat tanpa
berganti pakaian karena waktu yang sudah semakin siang. Kedua, sesampainya di
sekolah tiba-tiba dengan semangatnya salah satu ibu dari anak muridku meminta
nomor handphone-ku. Aku pikir hal yang lumrah, mengingat aku adalah wali
kelas anaknya di kelas A. Ternyata si ibu berniat serius mengenalkanku dengan
seorang laki-laki yang merupakan saudaranya. Aku hanya bisa berdalih ingin
fokus skripsi dan belum memikirkan jodoh ketika si ibu melontarkan pertanyaan
“sudah ada calon belum?”. Ckck. Ketiga, rok abu yang merupakan rok
seragam PG PAUD di kampusku harus menjadi korban tinta hitam spidol yang bocor
saat hendak aku gunakan. Aku sempat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan
tinta spidol itu dengan air, tapi hasilnya percuma. Tinta tersebut cepat
mengering dan menempel di rok-ku. Tak putus asa, saat tiba di kontrakan, aku
berusaha menyikatnya. Tapi sayang, rok kesukaanku itu harus kurelakan terkena
noda hitam. Sampai saat ini aku masih merendamnya dengan deterjen yang
sebelumnya aku kenal ampuh dalam menghilangkan noda. Ya, siapa yang tahu. Hiks
hiks
Selain hal diatas, hari
ini pun merupakan pertama kalinya aku mendapatkan gaji pertama secara utuh dari
TK. Besarnya gajiku selama mengajar satu bulan di TK yaitu Rp280.000. Bulan
lalu aku hanya mendapatkan Rp60.000. Hal tersebut karena awal aku mulai masuk
mengajar di TK tidak tepat saat awal bulan, melainkan tanggal 24. Sebetulnya uang
yang aku dapatkan dari TK tempatku mengajar tidak hanya dari gaji bulanan,
melainkan ada juga upah bulanan dari kegiatan les baca, tulis, hitung yang
diselenggarakan oleh TK tanpa mewajibkan siswanya untuk ikut semua. Upah
tersebut sudah diberikan ibu kepala sekolah sebelum awal bulan. Jumlah yang aku
dapatkan Rp.215.000. Kenapa ibu kepala sekolah membagikan gaji itu diawal waktu?
Karena beliau bermaksud untuk membantuku. Jadi ceritanya tanggal 1 Oktober
kemarin sekolah mengikuti kegiatan manasik haji. Semua murid dan guru harus
menggunakan seragam putih. Dari semua guru, hanya aku satu-satunya yang belum
menemukan rok putih untuk aku gunakan saat hari H. Adapun yang mereka miliki
adalah celana putih. Dengan tebakan bahwa beliau-beliau mengetahui bahwa aku
tidak pernah menggunakan celana sebagai bawahan untuk menunjang penampilanku,
alhasil gaji itu dibagikan diawal agar aku dapat segera membeli rok putih.
Kurang lebih seperti
itulah dilema seorang guru TK. Dengan kebutuhan banyak, penghasilan yang mereka
dapatkan hanya sedikit. Namun, aku tetap bersyukur. Entah kenapa, sejak pulang
dari Thailand dan tidak mendapat kiriman uang lagi dari orang tua dan paman,
aku malah semakin bertekad kuat untuk mandiri. Sudah hampir dua bulan aku
bertahan di Serang—setelah pulang dari Thailand—tekadku semakin kuat untuk tidak
meminta uang. Usahaku untuk mencari peluang bisnis masih berjalan walaupun
belum action. Dan usahaku untuk mencari penghasilan tambahan dari
kegiatan les privat akhirnya hampir membuahkan hasil. Itu semua tentu atas Sang
Maha Pemurah. Bismillah... saat ini juga bebanku semakin bertambah
dengan tugas untuk menerbitkan artikel yang diperintahkan oleh bapak direktur
kampus. Padahal skripsi masing mengawang-awang. Demikian catatan hati
seorang guru TK. Semoga menginspirasi.
-Pekatnya malam pasti
berganti siang-
Serang, 3
Oktober 2016
Langganan:
Postingan (Atom)