Oleh
Yena Agustin
(Ditulis dalam Rangka Partisipasi Lomba Essay yang diselenggarakan oleh IMPPASI "Ikatan Mahasiswa PG PAUD Seluruh Indonesia)
Generasi
yang berusia 0 – 9 tahun dan 15 – 19 tahun pada saat ini diprediksi akan
menjadi warga negara usia 35 – 44 tahun dan 45 – 54 tahun saat Indonesia
berusia 100 tahun (1945 – 2045). Dengan demikian, anak-anak usia sekolah pada
masa kini akan dipersiapkan untuk menjadi tenaga kerja dan calon pemimpin pada
saat Indonesia berusia 100 tahun kelak (Suparlan, 2014). Pada periode usia sekolah tersebut, termasuk
didalamnya adalah peserta didik anak usia dini.
Peserta
didik anak usia dini adalah anak yang berusia 0-6 tahun (Luluk, 2014). Secara
lebih spesifik Isjoni (2014:61) menyatakan bahwa “anak usia 4-6 ahun merupakan
bagian dari anak usia dini yang secara terminologi disebut sebagai anak usia
pra sekolah”. Alasan mengapa anak usia dini merupakan bagian dari golden age
generation atau generasi usia emas yaitu sebagaimana Sujiono (2013:6)
menyatakan bahwa “anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani
suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan
selanjutnya”. Hal tersebut tentunya harus menjadi motivasi dan acuan kita
bersama dalam rangka berpartisipasi aktif guna mewujudkan generasi emas yang
diharapkan. Investasi yang dapat kita lakukan ialah melalui pendidikan,
khususnya pendidikan dalam hal ini ialah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Seluruh
pihak yang berkaitan dengan pendidikan anak usia dini memiliki peranan penting
dalam partisipasi aktif mengoptimalkan perkembangan anak yang berada dalam
rentang usia emas. Mulyasa (2012:34) memaparkan bahwa “mengingat masa ini (0-6
tahun) merupakan usia emas, maka perlu dituliskan dengan tinta emas, dengan
tulisan-tulisan yang dapat menghasilkan emas di masa mendatang”. Tanggung jawab
terhadap peran tersebut tak bisa dibebankan hanya pada orang tua, guru, dan
pemerintah saja. Namun, kerja sama ketiga pihak tersebut diperlukan guna
pencapaian tujuan dengan usaha yang maksimal.
Orang tua
secara jelas memiliki tanggung jawab sepenuhnya terhadap anak. Menurut Ki Hajar
Dewantara, keluarga adalah pendidik pertama dan utama. Anak menghabiskan 80%
bersama keluarga dan lingkungannya (Latif, Zukhairina, Zubaidah, & Afandi,
2014:255). Orang tua tentunya perlu
bekerja sama dengan guru. Menurut Basri
(2014:5), “Guru memang seorang pendidik sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya
mengajar seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi guru juga melatihkan beberapa
keterampilan dan terutama sikap mental anak didik”. Salah satu bentuk kerja sama yang baik antara
orang tua dan guru dapat dilakukan dengan menjalin komunikasi yang baik agar
segala sesuatu yang terjadi pada anak dapat diketahui oleh orang tua.
Guru
perlu proaktif untuk memberikan porsi yang lebih besar pada orang tua, agar
mereka dapat menjadi orang tua yang lebih baik dalam melakukan apa yang mereka
bisa (Sujiono, 2013:171). Menurut Rogers dalam Catron dan Allen (1999:580),
keberhasilan guru yang sebenernya menekankan pada tiga kualitias dan sikap yang
utama, yaitu: (1) guru yang memberikan fasilitas untuk perkembangan anak
menjadi manusia seutuhnya, (2) membuat suatu pelajaran menjadi berharga dengan
menerima perasaan anak-anak dan kepribadian, dan percaya bahwa yang lain
dasarnya layak dipercaya membantu menciptakan suasana selama belajar, dan (3)
mengembangkan pemahaman empati bagi guru yang peka/sensitif untuk mengenal
perasaan anak-anak di dunia (Sujiono, 2013:12). Saat ini, guru PAUD tak hanya
cukup memiliki sifat dan ciri khas berupa kreatif, murah senyum, bersih, rapih,
ceria, penuh kehangatan hati, kepekaan, tidak pilih kasih dan lain sebagainya.
Saat ini guru PAUD dituntut pula untuk memiliki intelektualitas yang tinggi
jika menginginkan kompetensi intelektualnya dinilai berkualitas. Kemampuan
berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris secara aktif dan pengalaman
penelitian yang mumpuni menjadi beberapa hal yang harus diberi perhatian lebih.
Sebagai usaha awal yang dapat kita wujudkan
bersama ialah dengan menciptakan standar pendidik PAUD yang memiliki latar
belakang pendidikan linier, artinya calon guru PAUD haruslah S1-PG PAUD. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki
oleh guru PAUD tentunya tidak dapat dipenuhi oleh pribadi guru sendiri.
Diperlukan peran pemerintah sebagai pemiliki kebijakan. Rachmanty (2015)
menyatakan “Peran pemerintah disini adalah memberikan kurikulum yang sesuai dan
menyetujui program pembelajaran yang akan diterapkan oleh guru untuk anak usia
dini”. Maka dari itu, untuk mewujudkan generasi emas diperlukan kerja sama yang
baik dari semua pihak demi Indonesia yang lebih baik di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Suparlan,
(2014). Generasi Emas Indonesia dan
Beberapa Ancaman Dalam Pelaksanaannya. http://suparlan.com, 30 Oktober 2015
Asmawati,
L. (2014). Perencanaan Pembelajaran PAUD. Bandung: Rosda Karya.
Dr. Yuliani Nuraini Sujiono, M. (2013). Konsep Dasar Pendidikan
Anak Usia Dini. Jakarta Barat: PT INDEKS.
Latif, Mukhtar dkk. (2014). Pendidikan Anak Usia Dini Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Kencana.
Basri,
N. A., (2014). Guru
sebagai Pengajar dan Pendidik di Sekolah (Tinjauan Teoritis dan Praktis).
http://www.slideshare.net, 30 Oktober 2015
Rachmanti,
(2015). Peran Pemerintah dalam Pemberian
Program Pembelajaran
pada Pendidikan Anak Usia Dini. http://paudub.files.wordpress.com,
30 Oktober 2015