Minggu, 03 Februari 2013

Cikopo, 20 Desember 2012

Jarum jam menunjukkan pukul 21. 50 WIB. Aku masih duduk terpaku di tempat dudukku, di bus jurusan Merak-Cirebon yang aku tumpangi sejak siang tadi. Getaran cukup keras akibat kencangnya laju mobil seketika membangunkanku. Aku tersadar dari kantuk yang mendera. Aku membetulkan posisi duduk dan kulihat keadaan sekeliling. Saat itu kulihat seorang gadis bertubuh tinggi semampai. Kulitnya gelap akibat sinar matahari. Usianya kuperkirakan lebih muda beberapa tahun dari usiaku. Ia berjalan diantara rapatnya jarak antarkursi penumpang, lalu berhenti tepat ditengah ruang bus. Remaja itu berusaha menjaga keseimbangan badannya sambil memegang gitar, kemudian memanggil kedua temannya yang masih berada dibelakang untuk segera mendekat. Masing- masing dari mereka memegang alat perkusi yang terbuat dari pipa atau paralon yang dibungkus karet agak tebal sehingga menimbulkan suara yang cukup mirip dengan kendang. Dan salah seorang lagi dari mereka telah menyiapkan sebungkus plastik bekas kemasan permen mint yang berukuran 1 pack permen. Dandanan mereka bertiga hampir sama, dengan menggunakan kaos dan juga celana jeans, rambut mereka agak sedikit berantakan, dan terlihat jelas mereka berusaha keras untuk menahan rasa kantuk yang datang menggoda.   
Kupandangi mereka. Berbagai pertanyaan seketika muncul dalam pikiranku, “Apa yang akan mereka lakukan? Tidak takutkah mereka malam- malam begini harus naik- turun dari bus yang satu ke bus yang lain? Tidak sekolah-kah mereka? Tidak malu-kah mereka yang masih muda harus bernyanyi, apalagi rata- rata penumpang ialah laki- laki?”. Sederet pertanyaanku itu buyar ketika aku mulai mendengar lantunan suara nyanyian yang agak sedikit melengking. Diiringi suara gitar kecil dan kendang, aku berusaha mendengarkan dengan baik dan mencoba menebak lagu yang dinyanyikan oleh salah seorang dari mereka. Usahaku gagal, karena aku tak mengenal judul lagu yang dinyanyikan gadis remaja itu. Tapi hal itu tak lantas membuatku menutup kuping. Aku mendengarkan setiap lirik yang terlantun agak melengking itu. Lirik demi lirik berusaha aku nikmati, tapi rasanya percuma. Aku tak terlalu suka dengan lirik lagu itu, isinya kurasa belum pantas untuk mereka nyanyikan dan mungkin agak sedikit kurang pantas untuk diperdengarkan atau mungkin tidak perlu sama sekali untuk didengar. Inti dari isi lagu itu menceritakan tentang kehidupan rumah tangga seseorang yang penuh derita. Lagu itu mengisahkan cinta seorang istri yang suaminya tak bertanggung jawab dan sering melakukan kekerasan.
Kuperhatikan pula salah seorang dari mereka yang tersenyum malu dan kemudian menundukkan kepala. Aku hanya menebak- nebak ekspresi dari gadis kecil itu, mungkin ia sedikit malu kepada kami—para penumpang--. Oh sungguh sekali lagi aku merasa lagu itu tidak pantas untuk dinyanyikan oleh remaja seusia gadis yang ada di hadapanku. Hatiku seketika terenyuh, entah kenapa. Tak seperti biasanya aku merasakan porsi rasa simpatiku berlebih pada saat itu.
Aku membayangkan diriku berada di posisi mereka. Mengamen dari bus ke bus hingga larut malam, menahan malu dan yang paling mengancam ialah bahaya yang mengintai. Astagfirullah, seketika air mataku menghalangi pandangan, kupejamkan mata untuk memperjelas penglihatan, tetesan air mata pun tak kuasa aku bendung. Kuusap seketika air mataku. Tanpa lama berpikir, aku langsung membuka tas dan mencari dompet. Kusiapkan beberapa keping uang Rp500. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tapi aku berusaha untuk mengapresiasi penampilan ketiga gadis remaja itu. Ketika salah seorang dari mereka tiba menghampiriku sambil menyodorkan plastik untuk tempat uang hasil mengamen, aku langsung menaruh recehan yang telah tadi aku siapkan. Ia mengucapkan terimakasih dan sebelum gadis itu beranjak, entah kenapa rasanya aku merasakan dorongan kuat untuk mengajukan pertanyaan, dan akhirnya satu pertanyaan terlontar dari mulutku, “Adik enggak sekolah?”. Tak butuh waktu lama, pertanyaan itu dijawab singkat dengan diiringi senyuman, “Udah keluar, teh”. Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa tersenyum simpul dan sedikit berpesan dengan mengucapakan “Oh ya, hati- hati ya, Dik”. Gadis itu berlalu, aku sedikit menengok ke belakang untuk memperhatikannya sebelum kemudian aku kembali ke posisi duduk semula.
        Belum selesai aku mencatat beberapa pelajaran yang dapat aku ambil dari kejadian 3 gadis remaja pengamen bus tersebut, seketika seorang pemuda dengan perawakan tinggi, berkulit gelap dan wajah berminyak, naik ke dalam bus dan langsung menyapa kami penumpang yang sudah cukup risih melihat pengamen dan pedagang asongan yang dari tadi keluar masuk bus. Kalimat demi kalimat mulai meluncur dari mulutnya. Bahasa yang ia gunakan cukup apik dan tertata. Ia pun cukup lancar bercuap- cuap. Instingku mulai aktif untuk menebak bahwa kalimat- kalimat yang ia lontarkan itu semacam puisi dengan jenis puisi modern yang berisikan curahan hati atau pengalaman pribadinya dalam menjalani kehidupan di jalanan yang keras dan tak tentu arah.
Setelah ia selesai berpuisi ria, ia sedikit menyelipkan doa untuk kami para penumpang agar selamat sampai tujuan. Aku mulai berpikir kembali, bahwa hal yang ia lakukan itu merupakan sebuah rayuan untuk menggoda kami—para penumpang—agar mengeluarkan beberapa keping uang recehan. Dan, ya, benar saja. Beberapa saat kemudian, pemuda tinggi itu tiba menghampiriku dan mengulurkan telapak tangannya yang tengah menggenggam uang receh dan uang seribuan. Tanpa keberatan, aku pun iseng memberikan satu keping uang koin 500-an. Ucapan “makasih”  lumayan jelas terdengar di telingaku. Tanpa aku hiraukan lagi, aku langsung memalingkan wajah ke arah jendela dan menyandarkan kembali posisi badanku yang tadi sedikit tegap.
Sungguh rasa kantuk ditambah kepala yang sedikit pusing menggodaku untuk kembali terlelap tidur, tapi entahlah, tiba- tiba aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk menuliskan beberapa pelajaran yang dapat aku ambil dari 3 gadis remaja dan seorang pemuda tadi. Seolah mendapatkan imajinasi “dadakan”, aku melanjutkan untuk menulis beberap hal yang dapat aku ambil dari para pemuda- pemudi yang tadi aku jumpai.
        Betapa beruntungnya kita masih bisa melanjutkan pendidikan dan mendapatkan fasilitas yang berkecukupan atau mungkin fasilitas yang serba lengkap dari orang tua. Kita tidak perlu lagi bersusah payah untuk bekerja, mencari uang untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Betapa pentingnya kita melihat kebawah. Betapa pentingnya kita bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Allah SWT pada kita. Masihkah pantas ketika kita harus selalu mengeluh pada setiap keadaan yang mungki baru dirasa sedikit sulit, atau mungkin kita dihadapkan pada hal yang sebenarnya masih bisa kita atasi, tapi atas dasar rasa malas dan tidak mau bersusah payah, kita seringkali mengeluh dan malah berleha- leha. Astagfirullah’aladziim.
Coba kita merenung sejenak dan membayangkan kita ada diposisi seperti 3 gadis remaja atau seorang pemuda pembaca puisi jalanan tadi! Mereka tidak seberuntung kita. Sungguh sangat disayangkan melihat mereka yang masih muda, nasibnya terkatung- katung tak tentu arah. Terbesit dalam benakku, “Apakah mereka mempunyai motivasi yang sama dengan kita untuk terus melanjutkan pendidikan? Apakah mengamen merupakan hal yang memang sebetulnya nyaman mereka lakukan karena dengan hal itu mereka bisa mendapatkan uang?”. Entahlah.
Cikopo, 20 Desember 2012, telah memberikan pelajaran. Peristiwa sederhana yang menyiratkan sejuta makna dan arti kenikmatan hidup. Betapa pentingnya kita bersyukur dan selalu melihat “kebawah” dalam hablu mina nass. Sungguh besar karunia-Mu. Sungguh nyata hidayah-Mu bagi umat yang mau menyadarinya. Ya Allah, bukakanlah selalu pintu hati kami untuk menerima hidayah-Mu. Amin.

By: Yena Agustin
        

0 komentar:

Posting Komentar